Kehidupan Kami : Aku Terpikat Layang-Layang

Penulis : Sri Puspa Oktaningrum

Namaku Ahmad. Akan tetapi, teman-teman selalu memanggilku Amat. Mungkin kata Amat lebih mudah untuk dilafalkan. Kalau dipikir-pikir pelafalan Ahmad lebih banyak menguras tenaga dibandingkan dengan Amat.

Aku tinggal bersama nenekku. Kata nenek, ayah meninggal ketika aku dalam kandungan. Ayah meninggal dalam kecelakaan kerja di pabrik tempat ayah bekerja. Saat itu, kandungan ibu berusia tujuh bulan.

Setelah ayah meninggal, ibu tinggal bersama nenek. Pada usia kandungan sembilan bulan, ibu mengalami pendarahan hebat. Oleh sebab itu, ibu dilarikan ke bidan desa yang rumahnya tidak jauh dari rumah nenek. Menurut Bu Bidan, ibu harus segera dibawa ke rumah sakit karena sudah banyak mengeluarkan darah. Nenek saat itu kebingungan tentang biaya rumah sakitnya. Akhirnya, dengan keyakinan dan pertolongan yang diberikan Bu Bidan, nenek pun membawa ibu ke rumah sakit. Sayangnya—berdasarkan cerita nenek—ibu tidak tertolong saat dibawa ke meja operasi. Sejak saat itu, aku resmi menjadi anak asuh nenek.

“Mat, nanti sepulang dari rumah Dawud buat belajar daring, kamu bantu nenek antar kue ke rumah Bu Joko. Bu Joko pesan banyak kue. Nanti Mbah belikan kamu sepatu buat bermain bola,” jelas nenek.

“Siap, Mbah.” jawabku dengan semangat sambil menyiapkan perlengkapan sekolah untuk mengikuti sekolah daring di rumah Dawud.

Aku terpaksa menumpang sekolah daring di rumah Dawud—temanku—karena nenek belum mampu untuk membelikanku HP.

Nenek adalah seorang penjual kue. Nenek akan sangat senang kalau ada tetangga yang akan hajatan. Artinya, nenek akan dapat banyak pesanan kue. Dengan demikian, nenek tidak perlu berkeliling untuk berjualan kue. Banyak kue yang dibuat nenek untuk dijualkan. Ada nagasari, bugis, risol, dan kue-kue lainnya. Hanya saja memang nenek tidak membuat banyak kue-kue itu. Modal nenek tidak banyak. Keuntungan nenek dari berjualan kue hanya cukup untuk kami sekadar makan dua kali sehari tentunya dengan lauk yang apa adanya.

“Amat berangkat, Mbah,” kataku sambil mencium tangan nenek.

“Jangan lupa, Mat, kalau sudah selesai sekolah daringnya langsung pulang,” ujar nenek sambil membungkus kue bugis.

Aku pun berangkat menuju rumah Dawud. Sesampainya di rumah Dawud, aku mengikuti sekolah daring dengan laptop Dawud. Kami berdua pun larut dalam kesibukan sekolah.

Dawud temanku ini adalah orang yang baik. Dawud tak segan memberikanku bantuan di masa pandemi ini. Dia tidak berkeberatan setiap hari aku menumoang di rumahnya untuk pakai laptop sebagai media sekolah daring. Sering pula Dawud memberiku makan siang gratis sebelum aku pulang ke rumah. Katanya, lauk di rumahnya sangat banyak, ibunya sengaja membuat untuk Dawud makan bersamaku. Aku pun akhirnya tak sungkan makan di rumah dawud.

Setelah berpamitan dengan Dawud, aku berjalan pulang melewati sawah yang luas. Saat berjalan pulang, aku melihat Wisnu di saung di tengah sawah.

“Mat, sini, kita buat layang-layang!” teriak Wisnu.

Saat mendengar layang-layang, aku langsung bergegas menghampiri Wisnu dengan penuh semangat dan berlari kencang.

“Kamu mau buat layang-layang, Nu?” tanyaku kembali menegaskan.

“Iya, ayo kita buat! Aku punya bahan-bahannya banyak nih!” ujar Wisnu meyakinkan.

Aku dan Wisnu larut dalam suasana membuat layang-layang. Setelah beberapa jam berjibaku membuat laying-layang, kami kemudian ke tengah sawah untuk menerbangkannya. Aku sangat mengagumi layang-layang buatanku. Layang-layang itu berekor panjang. Warnanya merah terang. Sayapnya sangat seimbang sehingga terbangnya stabil.

Aku sangat terpikat layang-layang itu. Sampai-sampai azan berkumand pun, aku tak mau melepas layangan yang sedang terbang damai ini. aku tak pernah bosan memandang layanganku yang sedang asik mengudara.

“Mat…Mat, Amat,” tiba-tiba teriakan Yu Katmi membuyarkan lamunanku.

“Mbahmu, Mat, jatuh dari sepeda masuk ke selokan,” ujar Yu Katmi lagi.

“Astagfirulloh,” ujarku sambil meloncat melepas layangan yang sedang terbang ini. aku berlari sekencang-kencangnya menuju ke rumah. Saat sampai di rumah, aku mendapati banyak orang mengerumuni nenek.

Aku berusaha meringsek kerumuman tetangga yang sedang melihat kondisi nenek. Aku melihat nagasari dan bugis ringsek hingga daun yang menutupinya sobek tak beraturan. Beberapa risol yang sering aku jadikan lauk makan siang pun sudah tak ada bentuknya. Aku melihat nenek sedang diurut Bude Parni. Nenek melihatku dengan senyuman. Aku merasa bersalah. Dalam hatiku berkata, “Sampai saat ini pun aku masih belum dapat memiliki sepatu buat bermain bola.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

7 Replies to “Kehidupan Kami : Aku Terpikat Layang-Layang”

  1. Keren Bu😁😁👍👍
    Sedikit saran Bu, dibagian Dawud—temanku—karena. Kalau bisa “Karena” itu pakai tanda koma, jangan diberi tanda strip lagi😄😄

  2. Alur yang sangat “damai” mengalir dengan arus bahasa yang begitu tenang, membahasa dengan sangat santai namun kuat mendorong “suasana” cerita menjadi lebih punya “rasa”.
    Itulah tulisan mba puspa.
    Tokoh Amat alias Ahmad pun akhirnya mendapatkan posisi yang sangat menonjol dengan karakternya: sebagai seorang anak yang seringkali mudak kepincut dengan ajakan ajakan teman temannya sehingga lupa dengan apa yang telah diamanatkan oleh Mbah.
    Mantap Mba Puspa. Terus menulis. Karena tulisan selanjutnya pasti memiliki rasa yang lain.

Tinggalkan Balasan ke Secret Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *