Penulis : Medon Satrio M.T. Pakpahan
Siang itu hampir semua penghuni asrama memilih menghabiskan waktu di dalam ruangan walau waktu sedang luang. Hanya Sophie yang sedang berencana untuk pergi ke luar. Cuaca sangat panas, sama seperti perasaannya. Pikirannya melayang, terbang tak terarah. Dia berlari menuruni anak tangga dari lantai dua asrama menuju koridor belakang. Dia menjinjing sepatu heels-nya lalu memakainya setelah sampai di lantai dasar. Dia memperhatikan kembali tas tangan yang ada di tangan kirinya, memastikan tak ada barang yang tertinggal. Setelah merasa semuanya beres, dia melanjutkan langkahnya dengan cepat. Dia sungguh buru-buru. Teman satu kelompoknya telah menunggu hampir dua jam. Dia melihat ojek online yang sebelumnya sudah dia pesan menunggu di depan pagar.
‘Ah, aku harus tampil sempurna!’ ucap Sophie pada diri sendiri. Dia sebenarnya sedang merasa tidak baik-baik saja. Malam sebelumnya dia bertengkar hebat dengan pacarnya, Frans, dan sekarang dia tidak dijemput sama sekali. Biasanya, setiap mau bepergian Frans sudah menunggu di depan pagar dengan mini cooper merahnya.
Sebelum keluar, dia menyempatkan diri menghampiri cermin yang ada di pojok koridor. Sekali lagi untuk memastikan bahwa dia tampil sempurna. Dia memandang banyangan dirinya di cermin, sejenak dia memperhatikan riasannya mulai tersapu keringat yang mulai membasahi dahinya. Dia ambil tisu dan kembali merapikan riasannya kembali.
Pengemudi ojek online yang sudah menunggu cukup lama membuyikan klakson dua kali memberi tanda supaya bergegas. Sophie yang sedang berada di depan cermin merasa jengkel. Tidak sabaran sekali ojol ini! Nanti aku kasih bintang satu baru tau rasa, gerutunya dalam hati. Dia memasukkan tisu ke dalam tas lalu langsung berbalik.
Sungguh sial. Niat ingin cepat malah makin lambat. Sophie bertabrakan dengan seorang gadis penghuni asrama lainnya. Pipinya memerah menahan amarah. “Maaf ya, Ka. Aku tidak sengaja. Kaka tadi tiba-tiba berbalik” ucap gadis itu sambil mengambil bukunya yang terjatuh.
“Aduh! Apa lagi, sih, ini!” Kamu bukan anak asrama gedung A, kan?”
“Bukan, Ka…. Aku tinggal di asrama gedung B” ucapnya tertunduk. Dia kenal betul siapa dia hingga tak berani menatap wajah Sophie.
“Oh,” kata Sophie dengan matanya penuh selidik terhadap gadis yang berdiri di depannya, “gara-gara kamu, ya! Huh…” Sophie mengangkat kedua tangannya hendak menjambak, kedua rahangnya saling menekan karena geram. Walau begitu dia tidak jadi berbuat apa-apa selain berteriak menggertak“arh…” lalu meninggalkan gadis itu di sana.
Sesampinya di tempat tongkrongan yang mereka sepakati, Sophie bergegas membuka helm yang dia pakai dan merogoh uang dari dalam tasnya. “Ini ya, Pak. Ambil saja kembaliannya” katanya sambil berlari kecil ke dalam cafe.
Di pojok cafe, tempat favorit mereka dia menjumpai Aan, Clara, Diandra dan Cindy. Mereka menahan tawa melihat Sophie berjalan mendekat ke meja mereka. Dia sendiri tampak bingung dengan mereka yang tidak seperti biasanya. “Bentar bentar…. Inikah seorang Sophie yang kita kenal?” Yang selalu ‘wow’ dan royal buat perawatan dan belanja.” kata Clara merasa terkejut. Mereka berempat saling pandang hingga sesaat kemudian Sophie ikut duduk bersama.
“Sophie?” Cindy mendekatkan wajahnya tepat di hadapan Sophie lalu tertawa “pft…” dia menutup mulutnya agar tawanya tidak lepas, “astaga, lo betulan Sophie gak, sih?”
“Atau The Red Queen?” Diandra ikut menimpali.
“Hahaha” tawa Cindy akhirnya lepas.
Aan yang sedari tadi menjadi pengamat ikut berkomentar. “Kek badut dong” katanya, “jadi gak konsen nih ngerjain tugas. Udah dosennya killer lagi.”
Mereka semua tertawa melihat Sophie yang jauh berbeda dari biasanya. Rambut panjangnya tampak gersang dan tak beraturan. Make-up luntur, dan setelan baju hingga heels yang dikenakannya membuat dia tampak aneh saja di mata teman-temannya. Di sisi lain, Sophie tidak mengira akan mendapat perlakuan seperti itu dari mereka. Dia adalah pusat perhatian, selalu tampil glamor, dan menawan. Intinya Sophie tidak pernah gagal soal penampilan.
Dia mengambil sisir dan bedak yang ada di dalam tasnya lalu permisi ke toilet. Dia merapikan diri namun hatinya tetap tidak bisa tenang. Dia berandai-andai, seandainya dia tadi dijemput mungkin dia tidak akan terkena panas dan debu di jalan, dan penampilannya tidak akan kacau seperti ini. Entah kenapa dia pun tadi tidak kepikiran untuk memesan tumpangan mobil saja. Seandainya waktu bisa diputar, namun itu hanyalah sekedar pengandaian baginya.
Dia kembali duduk bersama teman-temannya namun tak bisa dimungkiri dia sudah merasa berbeda. Dia tidak merasa seperti dirinya. Kepercayaan dirinya seketika luntur. Teman-temannya kini serasa seperti musuh yang kapanpun siap untuk menjatuhkannya. Tak lama kemudian, setelah dia tak kunjung merasa tenang dia pamit pulang duluan.
Dari balkon depan kamarnya, Sophie melihat gadis tadi siang. Dia hendak menghampirinya. Kebetulan berada di depan cermin koridor bawah. Dia penasaran dan mengamati gadis itu. Dia hanya mengamati cermin sebentar, menarik nafas lalu pergi ke kursi taman di halaman belakang.
Saat duduk di kursi taman, gadis itu melihat Sophie di belakangnya. “Eh, kaka yang tadi siang. Maaf ya, ka. Tadi Vana benar-benar tidak sengaja.”
“Tak apa” jawab Sophie singkat “jadi namamu Vana?” lanjutnya.
“Iya, Ka” jawab gadis berkacamata itu, “ada apa dengan namaku?” dia balik bertanya.
“Vana?” ucap Sophie sambil berpikir, “kok terdengar seperti ‘fana’, ya.”
“Yah, memang begitu adanya” dia meletakkan sebuah buku yang dikeluarkannya dari dalam tas tepat di atas pangkuannya “aku terkadang malah menyukainya. Pengucapannya nyaris mirip, namun artinya jauh berbeda.” dia menarik nafas lalau mulai membuka lembaran buku di pangkuannya “namaku Indah Belvana Sasmita dan aku tak secantik namaku, itulah sebabnya aku lebih suka ‘Vana’ saja. Itu lebih tepat menurutku, sekaligus jadi pengingat bahwa aku adalah fana. Cantik tidaknya diriku pasti akan tiba pada satu titik akhir”
“Aku tahu bagaimana perasaanmu, Vana” ucap Sophie sambil menepun bahunya pelan. Dia kemudian menceritakan bagaimana sisi lain dari popularitasnya, juga bagaimana dia berusaha untuk tampil sempurna dan menyenangkan hati semua orang.
Gerimis turun dan mengakhiri hari yang panas. Mereka berlari ke lorong asrama dan duduk di kursi yang ada di depan cermin. Mereka menatap ke dalam cermin, melihat jati diri mereka. Mereka menjadi sahabat yang dipertemukan oleh rasa kecewa.
“Namamu adalah Sophie, bukan Shopie” kata Vana, “jadilah bijak, bukan menjadi rakus mengikuti inginmu yang tak terbatas. Kita tak bisa menyenangkan semua orang.” tutup Vana mengakhiri percakapan mereka sore itu.
Keren satu 😍
👍
Keren bg
😍
Ceritanya bagus. Keren loooh 👍👍
Good👍