Penulis : Luthfi Fahriza
Namaku Andi, aku dibesarkan oleh pamanku. Aku tidak kenal dengan orang tuaku. Di bangku SD aku hanya bisa iri kepada seluruh temanku yang pulang dijemput oleh orang tuanya. Aku hanya bisa menatap hampa kepada mereka. Ketika duduk di bangku SMPlah aku baru mengetahui nama orang tuaku. Hal ini sedikit menggembirakan hatiku, walau sebenarnya ku tak tahu pasti di mana mereka. Apakah mereka menyayangiku atau sengaja meninggalkanku di sini tanpa sepucuk kabar. Paman hanya bilang mereka menyayangiku. Tapi, apakah ini yang disebut dengan sayang. Menelantarkanku dan membiarkanku tenggelam dalam jutaan pertanyaan dan terikat di dalam lembah kerinduan. Apakah itu defenisi dari sayang?
Waktu demi waktu aku berusaha melupakan segalanya. Tapi, rindu kepada pelukan hangat seorang ayah dan kasih sayang seorang ibu yang menggebu tak akan pernah hilang dari diriku. Seakan-akan hal ini kekal dalam diriku, walaupun aku telah menganggap paman seperti keluarga, tetapi aku dan paman tidak terlalu dekat. Hanya bertemu ketika malam selebihnya sibuk dengan urusan masing-masing. Ada hal yang membuatku selalu penasaran yaitu kamar paman yang selalu terkunci.
Hingga pada suatu hari aku mendengar suara sepeda motor di luar rumah. Dan ketika aku keluar kamar untuk mengambil air, suatu hal yang aku kira tidak akan pernah terjadi, tetapi terjadi pada hari itu. Ketika aku keluar, ternyata pintu kamar paman terbuka dan tak terkunci. Aku membeku sejenak sambil menatap di depan pintu yang terbuka itu, lalu aku mulai melangkah menuju pintu itu dan aku mulai mendorong pintunya lalu terdengar suara decitan yang membuat gigiku ngilu. Namun, saat pintu terbuka sempurna terlihat sebuah lemari dan sebuah kasur serta meja yang berantakan dengan berbagai buku tua di atasnya. Aku masuk menelusuri rasa penasaranku hingga aku berhenti tepat di depan meja yang berantakan tersebut. Aku mencoba membongkar beberapa buku hingga terlihat sebuah koran tua yang sudah usang.
Kemudian aku membuka koran itu, dan terlihat di dalamnya beberapa judul dari kabar berita. “Oh ternyata ini adalah koran yang sudah sangat lama” gumamku, ketika menemukan tanggal terjadinya suatu bencana alam yang terjadi 20 tahun yang lalu. Selanjutnya aku membaca dan sesekali membolak-balik hingga sebuah judul suatu tragedi menarik perhatianku. Aku membaca cepat berita tersebut hingga dua nama korban membuatku harus mengingat nama yang pernah aku tanyakan pada paman waktu itu. Aku masih diam sambil menatap kedua nama tersebut “Tidak mungkin ini kedua orang tuaku” ucapku menyingkirkan dugaan buruk ini. Aku kembali membaca untuk lebih memastikan dugaanku tidak benar hingga sebuah nama seorang anak dalam kejadian ini ternyata sama dengan namaku.
Aku diam sejenak mencoba menyimpulkan berita yang baru saja aku baca, hingga akhir. Rasanya sangat sakit mengetahui hal ini. Aku meletakkan koran tersebut. dengan tangan yang gemetar. Lalu aku diam sejenak hingga suara decitan pintu memecah keheningan lamunan. Aku masih diam tidak berbalik untuk melihat siapa yang dating. “Apakah paman yang membunuh kedua orang tuaku?” tanyaku memecah kelengangan suara ruangan yang parau dan diikuti oleh air mata yang mengalir di pipiku. Namun, paman hanya diam tidak menjawab pertanyaanku. “Apakah paman pelakunya!?” bentakku lebih keras kepada paman. Paman hanya masih diam tidak menjawab pertanyaanku hingga paman berjalan ke arahku dan tepat ketika paman memegang pundakku, aku mengambil benda tajam yang terletak disamping koran. Kuarahkan pisau itu ke perut paman. Aku diam sejenak ketika pisau tepat menusuk di perut paman. Tapi paman hanya diam seribu bahasa.
“Kenapa paman membunuh mereka? Jawab aku paman!” bentakku ketika darah mengalir di tanganku. “Karena aku menyayangimu” ucap paman dengan suara yang merintih dan penuh air mata. Aku bertanya kembali “Apakah ini yang disebut sayang? Apakah dunia telah mengubah defenisi sayang menjadi pembunuhan? Hah!”
Lima tahun kemudian hari demi hari kulewati pasca tragedi itu. Aku memulai hidup baru mencoba mengubur semua kenangan dan melupakan beribu pertanyaan yang telah menenggelamkamku. Hingga fakta itu datang kembali membuka semua kenangan yang telah aku kubur. Sampai di suatu hari seseorang datang memberi kabar bahwa paman telah wafat dan menitipkan sebuah amplop hitam. Aku membawa amplop tersebut dan duduk di sebuah kursi sambil menatapi amplop tersebut “Hitam sama seperti masa laluku, gelap dengan semua ketidak jelasan, letih di dalam harapan yang tidak pasti” ucapku tersenyum sinis menatap amplop tersebut. Langsung saja tanpa basa-basi aku pun membuka amplop itu dan menarik sebuah kertas juga foto yang terselip di dalam amplop. Kuambil foto dan melihat, “Oh ini adalah fotoku ketika masih berada dalam lingkup kebohongan” gumamku sambil meremas foto dan membuangnya ke tong sampah. Aku membuka kertas itu, terdapat tulisan paman di dalamnya saat aku membuka dan membacanya.
“… Andi jika engkau telah membaca surat ini berarti aku sudah tiada, maafkan aku yang tidak bisa menyatakan hal ini secara langsung. Tapi ada beberapa hal yang inginku beri tahu. Pertama, aku bukanlah paman kandungmu tetapi aku hanyalah tetangga orangtuamu dulu. Pada suatu hari, ketika kusedang bersantai, tiba-tiba kumendengar suara tangisan bayi dari dalam rumah ayah ibumu kemudian karena penasaran aku berjalan menelusuri hingga tiba di tempat asal suara itu. Aku membuka pintu dan menemukan ayahmu sedang memukul ibumu. Tersontak aku berlari dan menepisnya hingga membuat ayahmu terjatuh. Lalu aku berjalan menuju ke arahmu yang saat itu terletak menangis di atas kursi, dan tanpa diduga ayahmu hendak menusukku, namun saat itu ibumu menahan pisau itu dengan tubuhnya. Aku terkejut dan melempar ayahmu dengan benda yang berada di dekatku. Ayahmu terjatuh dengan darah yang mengalir di dahinya. Ternyata benda yang kulempar adalah sebuah martil. Hingga ayahmu kehilangan banyak darah dan na’as ibumu juga kehilangan nyawanya karena luka tusuk itu. Sebelum ajal menjemput nyawanya, ibumu berpesan agar aku menjagamu hingga dewasa. Andi maafkanlah aku, maaf aku masuk ke dalam alur kehidupanmu, aku lelah dengan perasaan bersalah yang tak bertepih, semoga kehidupanmu sekarang bahagia, tertanda paman.”
Aku diam sejenak menatap nanar kertas ini hingga air mata jatuh tanpa aku sadari. “Maafkan aku paman” aku berteriak memecah keheningan. Rasanya sesak bahkan hanya untuk menghirup udara, hari ini semua yang telah kukubur dengan segala perjuanganku terbuka kembali. Aku berusaha mengambil selembar foto yang ada di tong sampah dengan tangan bergetar menahan isak tangis hingga foto itu tepat di tanganku. Aku melihat sekilas senyum paman dan kembali menangis. “Maafkan aku paman” lirihku dalam tangis.
Keren
Keren banget ya
Penyesalan…