Penulis : Novi Apriliani
“Nggak Bu!”
Pekikan suara itu menggema, diikuti dentuman kecil meja yang dipukulnya. Berdiri pongah laki-laki berpeci hitam itu, Arjuna. Laki-laki itu menatap nyalang ke depan, berhadapan dengan sosok wanita tua yang memakai jilbab merah maron.
“Sudah dua tahun lho, dua tahun Sekar pergi meninggalkan kamu tanpa kepastian. Jun, Ibu mohon menikahlah dengan Maya.”
Laki-laki itu tetap memberontak dengan segala verbal di mulutnya, wajahnya tampak merah menahan amarah. Bagaimana mungkin, keluarganya itu merencanakan sebuah pesta pernikahan tanpa persetujuannya? Terlebih, ia akan menikahi seorang gadis yang menjadi juniornya dulu di pesantren Mbah Ali. Maya Azzahrah, mengingat nama itu pikirannya melayang kepada dua tahun silam.
Dua tahun yang lalu tepatnya, ia akan melangsungkan pernikahan yang diinginkannya, menikahi sosok wanita versi Khatijah di masa kini. Sekar… nama itu seharum sifatnya, pendiam tetapi cerdas, hampir separuh Al Quran mampu dihafal gadis berdarah Minangkabau itu, cantik apalagi. Maka, ‘kumbang’ mana yang tidak tertarik untuk mengkhitbahnya segera?
Memikirkan hal itu membuat Arjuna menggeram marah lagi, ia disadarkan pada sebuah kenyataan jika wanita itu, Sekar, tidak ingin menikah dengannya. Ia kabur tepat ketika ijab kabul akan segera dilaksanakan. Juna mengusap wajahnya frustasi, ia tak masalah soal menunggu, siapa tahu timbul keajaiban dan ternyata waktu sabarnya memang membawanya menuju takdir yang menggembirakan; menjadi imam Sekar misalnya.
“Baik, baik. Jika memang Ibu ingin menikahkan saya dengan gadis itu. Tapi jangan salahkan saya, jika biduk ini akan hancur di tengah jalan. Karena hati saya sepenuhnya sudah mati.” Juna menurunkan tempo suaranya rendah.
Laki-laki itu memutuskan untuk hengkang dari ruangan tersebut daripada menambah dosanya untuk melawan dan menyakiti sang ibu. Sementara, wanita itu menatap kepergian Arjuna dengan nanar. Sejak kapan perasaan cinta itu membelenggu anak laki-lakinya yang begitu memegang teguh Al Quran dan hadist dalam hidupnya? Umur laki-laki itu sudah menginjak dua puluh tujuh tahun, sudah matang untuk memperoleh rezeki seorang keturunan.
‘Bukakan mata hatinya Ya Rabb.’
Seorang gadis mengenakan mukenah putih mematut wajahnya di cermin, tampak pias sekaligus ada secerca bahagia dalam hatinya. Hari ini, sang ibunda mengabarkan jika seseorang akan datang mengkhitbahnya. Gadis itu melukiskan senyum di wajahnya saat mengingat siapa nama seseorang itu.
Ditelusurinya wajah itu, di dahinya masih tersisa air wudhu yang mengembun. Sekali lagi bibir merah ranum itu tersenyum, kali ini lebih lebar. Perempuan itu, Maya, merasakan detakan jantungnya yang kian cepat. Dopamin di otaknya memproduksi secara berlebihan mengakibatkan perutnya seperti dipenuhi oleh kepak sayap kupu-kupu yang bersarang di sana.
Arjuna Syahputra, laki-laki yang kini menjadi ustadz dalam sebuah pesantren terkemuka di kotanya. Bahkan, ia tidak pernah menyangka sama sekali laki-laki yang sering menampakkan batang hidungnya itu akan menjadi pelengkap separuh agamanya.
Pintu kamarnya diketuk, tidak lama perlahan terbuka separuh. Ibunya masuk melalui celah pintu, “Nak, rias sedikit wajahmu setengah jam lagi keluarganya datang.”
Maya menatap ibunya dengan lembut, ia mengangguk dan segera mengambil beberapa make-up yang tersimpan rapi dalam laci miliknya. Debarnya kian tak keruan, tanpa sadar keringat dingin mengucur dari keningnya yang mulus. Perlahan namun pasti, wajah manis itu telah terpoles sempurna dengan bedak tipis yang membuat wajahnya kian bercahaya.
Setengah jam kemudian, ia telah dibawa menuju serambi ruang tamu. Pipinya tampak merona malu, kali pertama seorang laki-laki bertamu dengan status hendak mengkhitbahnya. Maya duduk di tengah-tengah ayah-ibunya, dari tadi dia senantiasa menunduk tanpa mampu melihat calon keluarganya.
“Assalamualaikum.”
Sebuah suara berat terdengar, Maya menduga itu suara ayahnya Juna. Pikirannya melalang-buana, tanpa terasa ia telah melewatkan pembicaraan penting mengenai proses pengenalan mereka. Yang jelas, Maya hanya mampu menangkap sebuah dialog jika Juna, ustadz muda itu, tidak menginginkan lagi ta’aruf lebih tepatnya menentukan tanggal pernikahan yang tinggal seminggu lagi.
Maya meremas buku jarinya hingga memutih, keluarganya ada di dalam tengah bercakap-cakap ringan, sementara dirinya dibiarkan bersama Juna di teras. Maya menilik sedikit dari sudut matanya, laki-laki ini sangat pendiam berbeda sekali dengan ia saat mengajar, Juna yang Maya ketahui juga sebagai seniornya waktu di pesantren dulu. Laki-laki itu cukup aktif berbicara dengan kalimat-kalimat berbobot nan indah didengar. Namun, mengapa jika bersama dengannya tak sedikitpun Juna membuka percakapan.
“Mas Juna dulunya senior saya,” katanya memberitahu suatu hal yang cukup absurd.
“Iya tahu kok. Oh ya, kamu pasti kenal Sekar ‘kan? Anaknya Pak Umar, salah satu guru di pesantren saya mengajar.” Maya mengerutkan dahinya aneh, mengapa jadi membahas wanita lain? Tak urung, dirinya mengangguk sebagai jawaban.
“Jangan lupakan fakta jika saya hampir menikahinya, dulu. Dan perasaan itu masih bercongkol sampai sekarang, saya harap kamu ngerti dan tidak menuntut apa pun dari saya.”
Senyap. Pembicaraan itu berakhir sudah, diikuti dengan langkah Juna memasuki serambi ruang tamunya.
—
“Qobiltu nikaahahaa wa tazwiijahaa bil mahril madz-kuur haalan….”
Kalimat itu mengucur deras dari bibir Juna, masih terngiang di kepalanya suara bergetar laki-laki itu yang diucapkan dengan indahnya. Sudah setengah jam ia berdiam diri di kamar, sementara laki-laki itu tak kunjung memasuki ruangan. Tak lama, sosok yang dicarinya muncul, tanpa suara laki-laki itu berjalan dan mengambil bantal miliknya lalu berlalu keluar kamar; meninggalkan suara debaman pintu. Maya memegangi dadanya yang terasa nyeri hingga ke ulu hati.
Paginya, pria itu juga tak tampak, rumah yang seharusnya diisi tawa bahagia mendadak bisu meninggalkan tanda tanya. Sebuah kesalahan apa yang diperbuat Maya di masa lalu, hingga ia harus menanggung pil pahit ini. Hal sakral yang menurutnya indah dan sekali seumur hidup, Maya tak meyakininya. Ia dihantui perasaan takut, jika bibir laki-laki itu menyatakan kata talak padanya.
Begitupun hari-hari selanjutnya terjadi, bahkan mencapai setengah tahun pernikahan mereka hanya mengalir percakapan pendek. Itu pun, Maya yang memaksa Juna buka suara. Hari ini, tidak seperti biasanya, sudah pukul sebelas malam namun Juna tidak kunjung pulang. Rasa khawatir melingkupinya dalam pusara ketakutan. Sebuah notifikasi pesan memberinya jalan keluar, tangannya segera menutup bibirnya yang hampir memekik kaget.
“Astaghfirullah ….”
Dengan langkah kecilnya, Maya berlari di antara koridor rumah sakit yang sudah sepi. Matanya awas membaca nama-nama ruangan tempat suaminya dirawat saat ini. Juna, laki-laki itu mendapat serangan berupa tusukan dari orang asing ketika perjalanan pulang.
Orang yang dikhawatirkan Maya sedang berjuang di sana, tak lama pintu itu terbuka diikuti dengan suara roda brankar yang membawa tubuh suaminya itu. Hati perempuan itu begitu sakit ketika melihat Juna begitu rapat memejamkan matanya, kesalahannya adalah ia tidak bisa memberikan kebahagiaan kepada laki-laki itu saat bersama dirinya. Harusnya, ia biarkan saja Juna pergi mencari Sekar, bukan dengan egois menahannya untuk tetap tinggal di sisinya.
Selama masa kritis laki-laki itu, Maya tak pernah bangkit dari sajadah merahnya yang terletak tepat di samping kiri brankar Juna. Bibirnya terus mengalunkan ayat-ayat Al Quran dengan indahnya, sementara di pipinya mengalir kristal bening. Teringat akannya suara Juna yang mengalun indah ketika sedang mengaji, suara tegas Juna ketika menjadi imam salatnya. Meski laki-laki itu tak menyimpan perasaan padanya, Juna cukup bertanggungjawab menjadi suaminya.
“Dosanya istri ditanggung suami.”
Begitulah kalimat Juna saat Maya melakukan suatu hal yang menurut laki-laki itu bertentangan dengan aturan agama. Setelah menyelesaikan ayat terakhir surah Yusuf, perempuan itu mendekati sisi samping Juna, dibelainya rambut hitam Juna yang sedikit panjang, ia juga menyentuh tangan dingin itu penuh hati-hati. Dadanya berdebar tak keruan, ini sentuhan fisik keduanya setelah laki-laki itu mengecup keningnya waktu akad dulu. Maya membenamkan wajahnya di dada bidang Juna, doanya mengalun indah dan ikhlas di dalam hati.
“Ma … ya?”
Semenjak pulihnya Juna dari masa-masa itu, Maya merasakan banyak perubahan dalam diri laki-laki tersebut, juga dalam hubungan mereka tentunya. Kontak fisik pun sering terjadi, Juna telah kembali menjadi periang layaknya dulu. Dia juga mengganti panggilan ‘Maya’ menjadi ‘Zawjaty’ yang berarti istriku.
Tanpa terasa pernikahan mereka menginjak satu setengah tahun, seperti saat ini binar kebahagiaan tampak di antara keduanya ketika seorang dokter memvonis jika usia kandungan Maya mencapai tujuh bulan. Perut Maya tidak begitu besar layaknya orang hamil kebanyakan, hingga Juna mengkhawatirkan asupan gizi wanita itu.
Getaran ponsel di gawainya membuat Juna harus rela meninggalkan Maya sendirian di rumah. Laki-laki itu menatapnya penuh sesal, “Nggak pa-pa kok Mas, udah kamu urusi dulu pekerjaan kamu,” kata istrinya dengan lembut. Mendengar itu, Juna melesat cepat agar menghemat waktu dan tergesa tidak sanggup meninggalkan istrinya lebih lama. Entah mengapa perasaan tidak enak bercongkol di dadanya, ada rasa keengganan kakinya untuk melangkah dari pintu rumah.
Juna menatap gerai toko perlengkapan bayi di sekitar jalan yang dilewatinya. Niatnya ingin mampir sejenak membelikan beberapa perlengkapan utama untuk kelahiran buah hatinya nanti. Namun sepertinya gawai itu menghalangi niatnya, ketika melihat nama istrinya terpampang bibirnya seketika tersenyum.
“Ass—”
“Jun, Maya jatuh di kamar mandi!”
Juna segera melenggang pergi dengan kecepatan yang tidak biasa, mobil itu membawanya menuju klinik bersalin. Wajahnya pucat pasi dan dadanya bergetar tak keruan. Larinya terhenti tepat di ruang nomor delapan. Seorang bidan keluar dengan darah di jas putihnya.
“Istri sama anak saya gimana?!” tanya Juna dengan tidak sabaran.
“Ini bukan waktu kelahirannya Pak, masih tersisa dua bulan lagi. Anak Bapak prematur, namun terjadi hemoragi di dinding uterus Bu Maya. Kami sedang berjuang, mohon Anda ikut masuk untuk menguatkan beliau.”
Firasat buruk itu seakan menertawainya dengan miris, Juna meremas rambutnya asal. Merutuki kebodohannya yang lebih mengutamakan pekerjaan daripada Maya, andai sekali waktu bisa dipermainkan layaknya pasir waktu yang bisa membalikkan masa sewaktu-waktu. Tetapi bukan kata itu yang kini Juna butuhkan.
Bagai dipecut sembilu, Juna memasuki ruangan tak sabaran. Matanya menatap nanar ke depan, ia menciumi wajah Maya. “Mas Jun, apabila aku sudah tidak kuat, ridhai aku ya Mas.”
“Laa Tahzan Innallaha Ma’ana,” imbuh Maya.
Juna tersentak mendengar suara lemah nan parau Maya, laki-laki itu memeluk erat sang istri.
Beberapa menit setelahnya, terdengar suara tangisan bayi; Juna lega luar biasa, tetapi di detik selanjutnya terdengar sebuah kalimat tauhid dari bibir istrinya.
“Saya meridhai kamu, Zawjaty. Ana uhibbuka fillah….”
Istri yang ketika meninggal dan suaminya ridha padanya, maka pintu-pintu surga dibukakan lebar-lebar baginya.
Kata-kata itu terngiang dalam kepala Juna, ia menatap kosong langit-langit rumah sakit. Lalu lalang orang-orang di sekitarnya seakan tidak bisa mendistraksi isi hati Juna yang pedih ditinggalkan kekasih jiwanya. Telinganya seakan kedap, tidak bisa mendengarkan apa pun, hanya suara tawa dari kenangan mereka yang mampu ditangkap inderanya.
Mungkin, perihal kematian manusia memang tidak bisa serta-merta baik-baik saja, ada luka yang menganga dan itu tidak bisa pulih seperti semula. Ada perasaan sesal yang perlahan menggerogoti ulu hatinya, mengapa ia baru bisa membahagiakan Maya di detik-detik wanita itu menemui akhir hidupnya?
Tepukan pelan di bahunya menyentakkan kembali Juna dari lamunan panjang itu, didapatinya sepasang tangan renta memeluk tubuhnya. Tangan itu gemetar dan terasa dingin, sama seperti perasaan Juna pada suasana ini.
“Terima kasih sudah mau mencintai dan mengimami Maya sedemikian rupa, cita-cita anak itu tidak muluk dalam berumah tangga. Ia hanya mau meninggal dalam keridhoan suaminya, Juna.”