Maryam

Penulis : Avita Nur Hamida

Hari beranjak sore. Seorang wanita bernama Maryam duduk di kursi ruang tamu rumahnya sedang menemui laki-laki yang datang untuk menunaikan tanggung jawabnya.

“Silakan ibu tanda tangan disini supaya kami bisa mencairkan dana untuk biaya pengobatan Ibu Irul,” ucap laki-laki itu. Maryam mengernyitkan dahi melihat perbedaan nominal angka yang tertulis disana.

“Saya tidak mau,” Maryam memberontak, menolak menandatangi surat pernyataan itu.

Pagi tadi, Maryam dan temannya bernama Irul mengalami hal yang mengerikan. Irul kini terbaring di rumah sakit dan kedatangan laki-laki di rumah Maryam adalah satu proses mereka untuk menunaikan tanggung jawab atas kejadian itu. Tapi Maryam bertindak semaunya karena merasa diperlakukan tidak adil. Saat laki-laki itu memaksanya, Maryam justru semakin memberontak hingga jatuh pingsan. Maryam terbaring di kamarnya. Sayup-sayup ia mendengar laki-laki itu akhirnya pamit pergi. Ada sedikit kelegaan di hatinya.

Tiba-tiba seorang perempuan berhijab putih mendekat. Tersenyum kecut dan mengelus lengan Maryam. Ia terus memandang Maryam yang bingung tak tahu siapa perempuan didepannya. Kemudian Maryam dituntun bangun dan dibawa keluar rumah. Maryam heran, suami juga keempat anaknya tidak melihat dirinya meski ia melambaikan tangan. Maryam memanggil mereka berulang kali. Tapi nihil, yang ada perempuan berhijab menarik paksa dirinya.

Tak butuh waktu lama, Maryam sampai di sebuah persimpangan jalan. Tempat yang saat itu begitu ramai orang-orang riuh mencari bantuan. Berusaha segera memberikan pertolongan pada Irul yang tengah terbaring di sisi jalan. Tangan Irul terus melambai meminta pertolongan, wajahnya meringis menahan sakit di seluruh tubuhnya. Baru saja beberapa detik yang lalu, sebuah truk air menabrak Maryam dan Irul. Maryam terpental dan Irul mengenaskan sebab roda truk dengan mudah melintas di atas tubuhnya. Seketika warga memekik seram melihat kejadian itu. Ada yang berlari menggotong tubuh Irul ke tepi jalan, ada yang menuntun Maryam yang ternyata tidak terluka parah, ada yang dengan arogan membuka pintu kemudi truk air dan menyeret kasar supir truk untuk mengamankannya, juga beberapa orang tua yang hanya bisa memandag dari kejauhan sebab tak berdaya melakukan apa-apa.

“Kakimu yang bengkak masih sakit?” ucap perempuan berhijab pada Maryam yang terlihat meringis menyaksikan kejadian itu.

“Sakit sekali,” sahut Maryam.

“Cepat bawa Irul ke rumah sakit,” teriak Maryam pada orang yang baru saja turun dari mobil ambulan. Tapi mereka semua tidak mendengar, mereka melintas tanpa melihat memerdulikan Maryam.

“Irul hampir kehilangan nyawanya karena menurutimu pergi ke pasar,” perempuan berhijab kembali berkata, dengan senyum sinis ia menatap Maryam.

“Aku tidak tahu ini akan terjadi.”

“Irul harus merasakan gilasan roda truk bahkan dengan kondisi sadar penuh, sedang kamu hanya bengkak di kaki,” nada bicara perempuan berhijab itu semakin tinggi.

Maryam bersungut-sungut mendengar ucapan itu. Ia merasa perempuan berhijab itu meremehkan dirinya. Tapi kemudian perempuan itu kembali menarik tangan Maryam seiring dengan mobil ambulan yang melaju meninggalkan tempat kejadian. Dalam sekejap Maryam  sampai di pelataran rumah sakit megah. Sesaat sebelum mobil ambulan dengan sirinenya yang keras memasuki gerbang rumah sakit dan berhenti persis di depan ruang instalasi gawat darurat. Maryam menyaksikan tubuh Irul dibawa ke dalam IGD. Tak lama kemudian seorang laki-laki datang dengan wajah penuh air mata.

“Kau lihat itu Maryam?” perempuan berhijab itu menjawil Maryam. “Laki-laki itu begitu terluka melihat keadaan istrinya. Apa kamu bisa membayangkan bagaimana dengan anak-anak Irul?” lanjutnya.

“Kenapa kau terus menyudutkanku? Aku juga korban,” Maryam berteriak sambil mengacungkan jari di depan wajah perempuan berhijab itu. Ia kembali bersungut-sungut.

Perempuan berhijab itu hanya tersenyum dan kemudian memegang erat tangan Maryam.

“Kau dengar ya, Irul punya dua anak dan yang satu masih kecil. Masih butuh perhatian lebih dari Irul. Sedangkan kau, empat anakmu sudah besar bahkan sudah bisa memberimu uang setiap bulannya,” ucapan itu terdengar pelan tapi sempurna menusuk hati Maryam.

“Suami Irul hanya tukang kayu, penghasilannya tak seberapa. Sedangkan kau, punya lumbung beras yang bisa kau jual kapan saja. Kau harus tahu Maryam, setelah ini pekerjaan suami Irul akan terhambat karena harus mengurus Irul.”

“Di dalam sana, Irul tengah berjuang melawan sakit dan bertahan untuk tak pergi meninggalkan suami dan anak-anaknya. Kau bayangkan saja bagaimana sakitnya dua tulang pinggulmu dipatahkan? Itu tentu tak sebanding dengan kakimu yang hanya bengkak,” perempuan berhijab itu semakin meninggikan nada bicaranya.

“Kau bahkan masih bisa berjalan keluar kamar untuk menemui dua laki-laki pekerja proyek tadi kan?” Maryam tidak menjawab, ia mulai meneteskan air mata.

“Dua laki-laki yang datang ke rumahmu meminta tanda tanganmu, mereka sedang berusaha menunaikan tanggung jawabnya pada Irul. Tapi kamu menghalanginya karena ingin mendapatkan uang lebih banyak. Sekarang kutanya, remuk tulang Irul apakah sebanding dengan bengkak kakimu?” Maryam semakin sesenggukan, ia mencengkeram erat daster yang ia kenakan.

“Anak-anakmu yang mengerti pendidikan harusnya bisa meluruskanmu. Irul lebih berhak atas itu. Untuk kesembuhan dan kelangsungan hidupnya setelah ini,” nada bicara perempuan berhijab itu berangsur menurun.

Kemudian Maryam melihat seorang dokter keluar dari ruangan. Dari ambang pintu ruang IGD, Maryam mendengar percakapan suami Irul dan dokter itu. Ia mendengar bahwa Irul harus segera dirujuk ke rumah sakit besar.

“Kau dengar itu Maryam? sungguh kau tak punya hati,” dengan wajah datar, perempuan berhijab itu kembali berkata-kata.

“Beritahu laki-laki tadi supaya memberikan semua dananya untuk pengobatan Irul,” Maryam terlihat memohon.

“Sudah terlambat Maryam, penawaran tidak datang dua kali. Harusnya tadi kamu menerimanya. Dengan begitu Irul akan tertanggung biaya pengobatannya dan kamu juga mendapat bagian untuk mengurut kakimu,” perempuan berhijab itu menuntun Maryam meninggalkan rumah sakit.

“Lalu apa yang harus aku lakukan?” tanya Maryam memelas.

“Tidak ada. Berdoalah Irul baik-baik saja,” ucap perempuan berhijab itu kemudian pergi meninggalkan Maryam yang sudah kembali masuk ke dalam rumahnya.

“Kumohon bantu aku,” pekik Maryam dan terduduk. Suami juga empat anaknya yang sedari tadi menunggu ia sadar segera mendekatinya. Mereka panik melihat wajah Maryam yang tampak begitu pucat ketakutan.

Maryam meneteskan air mata merasa bersalah. Bagaimana lagi, tidak ada yang bisa dilakukan Maryam. Ia tak bisa lagi menemui laki-laki proyek tadi, atau bahkan mengurungkan niatnya memaksa Irul menemaninya ke pasar supaya Irul tidak mengalami kecelakaan ini. Tidak bisa.

Kini Maryam mengerti. Apa yang dialami tadi adalah bentuk teguran atas sikap Maryam yang tidak semestinya. Ia dibutakan oleh uang dan berniat memanfaatkan situasi ini. Maryam menyesal sebab tak berpikir dua kali dalam berkeputusan.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

24 Replies to “Maryam”

Tinggalkan Balasan ke Fifi AJ Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *