Penulis : Medon Satrio M.T. Pakpahan
Sudah larut malam, aku baru saja selesai mandi. Meja kerjaku berantakan dengan berkas-berkas keperluan interview tahap akhir dengan sebuah perusahaan besar di kota ini. Kulihat jam menunjukkan angka dua lewat sepuluh. Jam pertemuan dengan user kurang lebih enam jam lagi. Aku gelisah, sudah kucoba memejamkan mata dan menarik selimut namun tetap saja tidak bisa tidur sama sekali. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hati. Aku kembali terduduk dalam diam. Kubuka laci meja belajarku dan mengeluarkan beberapa kertas berwarna yang terselip dalam buku agendaku. Kubalik bergantian memperhatikan setiap goresan yang ada pada kertas itu. Aku terseyum sendiri dan tangan kiriku menopang serta memijat pelan kepalaku.
Jujur saja, aku merasa pusing. Sudah hampir setahun lamanya aku menganggur karena pandemi. Sudah puluhan lamaran yang kulempar belum ada yang membuahkan hasil. Paling mentok di interview tahap akhir.
Kali ini peluang yang lain datang, tentunya aku sangat bersemangat. Aku sudah mempersiapkan segalanya. Walau begitu, rasanya ada sesuatu yang benar-benar tidak beres dengan perasaanku. Lembaran yang sedang kubuka adalah sekumpulan surat dari seorang gadis kecil bernama Talita. Sudah tiga bulan aku tidak berjumpa dengan gadis malang itu, hanya suaranya lirihnya yang masih terngiang di kepalaku saat terakhir kali aku meninggalkannya di ruang perawatan rumah sakit.
Sekitar delapan bulan lalu, aku dan teman-temanku datang mengunjunginya. Kami mengumpulkan dana dan berbagi di sebuah rumah sakit anak di kota ini. Dia sendiri menderita penyakit yang amat langka. Menurut ahli, kasus ini hanya ada sekitar 700 kasus di dunia dan belum ditemukan obatnya. Talita, gadis kecil berusia 10 tahun yang malang itu mengidap penyakit FOP (Fibrodysplasia Ossidficans Progressiva). Kata dokter hal itu disebabkan oleh mutasi gen. Tulangnya tumbuh secara tidak wajar sehingga dia pun hanya bisa terbujur kaku di atas tempat tidur. Orang-orang juga menyebutnya penyakit stoneman karena memang pada dasarnya penyakit ini mengakibatkannya tidak dapat bergerak lagi. Dia benar-benar membatu. Kedua orang tuanya juga amat terpukul kala dokter mengatakan bahwa harapan hidup Talita sangat minim. Dia mungkin hanya akan mencapai umur 40 tahun dan hanya bisa berbaring seumur hidupnya. Ibunya sendiri hanya bisa menangis mendengar hal itu dan ayahnya syok. Mereka tak rela kehilangan anak mereka satu-satunya. Kehilangan seluruh harta materi mereka tak lagi masalah bagi mereka asal tak kehilangan Talita. Aku dan teman-teman berusaha menenangkan mereka dan memberikan dukungan untuk perawatannya.
Semenjak kunjungan pertama tersebut aku sering mengunjunginya hingga tiga bulan lalu kufokuskan untuk diriku sendiri. Menemukan sebuah pekerjaan yang bisa menopang kehidupanku di kota perantauan ini. Tetapi nasib berkata lain, sudah tiga bulan juga aku menganggur setelah sebelumnya hanya kerja serabutan di sebuah hotel. Saat itu, aku kadang membawakan makanan, menyuapinya lalu menceritakan dongeng-dongeng klasik hingga dia tertidur.
“Paman adalah pencerita yang baik” ucapnya pada suatu sore saat aku berkunjung. Dia terlihat mengantuk namun sepertinya masih banyak yang ingin dia sampaikan. Aku memperhatikannya secara saksama.
“Kamu tahu, Talita?” ucapku dengan mata berbinar “kamu adalah anak yang kuat,” air mataku jatuh tak terbendung, “kuharap kamu bisa sembuh”. Ucapku penuh harap walau aku tau penyakitnya belum ada obat sama sekali.
Dia tersenyum lalu berkata “kalau aku memang tidak bisa sembuh, aku sangat bersyukur bisa hadir di dunia dengan papa dan mama yang tak pernah lelah menjagaku” dia berhenti sejenak dan melanjutkannya “aku senang bisa bertemu orang baik seperti paman”.
Dia tampak sedikit memaksa untuk berbicara lebih panjang lagi. Aku duduk tepat di sisinya sementara kedua orang tuanya juga berdiri tepat di sampingku.
“Aku adalah anak yang beruntung. Masih punya papa, mama dan juga paman, kan? Masih banyak teman-teman Talita yang tak seberuntung Talita” ucapnya kian lirih “mereka hidup di jalanan tanpa kasih sayang dari orang tua”.
Ibunya menangis dan segera memeluk Talita yang terbaring kaku.
“Ma, aku masih mau bilang sesuatu”
“Apa itu, nak? Bilanglah. Kami disini mendengarkanmu” ucap ibunya sambil mengelus kepala Talita.
“Maukah paman memberikan kesempatan keidupan yang lebih baik kepada anak-anak sepertiku, paman?”
“Ya. Paman berjanji”. Aku menggenggam tangannya dan air mataku telah membajiri pipiku.
Kini, tak terasa sudah 3 bulan aku mengucapkannya, dan itu akan tetap terpatri di dalam hati. Gajiku dan hadiah dari tulisanku di beberapa media akan kudonasikan untuk pengobatan anak dan juga pendidikan anak-anak terlantar.
👍
Ceritanya bagus 👍
Wahh cerpen nya keren pak,mudah di pahami sering sering buat kyak gini lagi pak😆👍
kerenn cerpen nya pakk, g bisa berkata kata lagii hehe keren pak sering sering buat cak ni👍
cerpennya sangat menginpirasi
Wah cerpen nya keren pak bagus lah pokok nya pak