Penulis : Alfiora Dashalina Kalyani Sadono
Dhani adalah anak dari keluarga kaya raya. Bocah itu tinggal di sebuah rumah mewah di pinggiran kampung kecil. Sejak kecil, Dhani sudah dimanjakan. Apa yang ia inginkan, akan ia dapatkan.
Di suatu pagi yang cerah di hari Sabtu, Dhani sedang serius bermain game di atas tempat tidurnya. Ia semalam begadang, menyelesaikan game yang sedang ia mainkan. Game itu hadiah ulang tahunnya dari ayahnya.
Dhani baru saja berhasil menembak final boss, saat ia mendengar teriakan ayahnya dari bawah.
“DHANIII!!”
Anak itu jatuh terlonjak dari tempat tidur saking kagetnya. Pasti ada masalah besar. Maklum, Dhani adalah jenis anak yang membuat masalah minimal lima kali seminggu.
Sambil mengelus-elus kepalanya yang benjol, Dhani bergegas menuruni tangga spiral menuju lantai satu. Ayahnya sudah menunggu di bawah tangga. Kalau marah, Ayah Dhani terlihat mengerikan.
Dhani menelan ludah. “Kenapa, Yah?”
“Dhani! Tadi ayah baru saja mengambil rapormu di sekolah. Kata guru kelasmu, nilai-nilaimu anjlok. LAGI ! Ini bukan pertama kalinya kamu mendapat nilai jelek.”
Sekarang ayah akan menjatuhkan hukuman, pikir Dhani.
Dugaannya benar. Sedetik kemudian, sang ayah berkata lagi, “Sebagai hukuman, kamu harus pergi ke perpustakaan dan membaca paling sedikit lima buku disana. Tidak boleh pulang sampai selesai. Dan jangan coba-coba melanggar. Ayah akan mengujimu saat kamu pulang nanti.”
Dhani menggeret kakinya ke perpustakaan kampung. Bukan salahnya jika nilai-nilainya jelek lagi. Pelajaran di sekolah memang membosankan. Kalau guru-guru disana menjelaskannya seperti menjelaskan aturan bermain game, mungkin Dhani akan lebih mengerti.
Saat masuk perpustakaan, Dhani mulai sembarang mengambil buku-buku di rak perpustakaan. Kemudian, ia membawa semuanya ke sebuah meja. Ia mulai membuka buku di tumpukan paling atas.
Baru sampai di halaman kedua, Dhani sudah menguap. Baginya, buku ini sangat membosankan. Dhani mulai menoleh ke kanan-kiri, berusaha mencari sesuatu yang menarik.
Mungkin aku bisa membaca buku dongeng yang pendek, Dhani berkata dalam hati.
Namun, Dhani malas berdiri dan mencari buku yang ia suka. Jadi ia sembarang menghampiri seorang anak perempuan yang sedang membaca di meja sebelahnya. Anak itu mengenakan pakaian yang lusuh, namun terlihat pintar. Buku-buku yang dipilihnya juga lumayan sulit dipahami untuk anak seumurannya. Namanya Zie.
“Aku pinjam buku ini ya.” Dhani menarik salah satu buku dari tumpukan buku yang dipinjam Zie.
Mata Zie membulat. “Kamu boleh ambil yang lain. Tolong jangan ambil yang satu itu. Aku, eh, belum selesai membacanya.”
Dhani tidak mengenal kata tidak. Ia hidup dengan pikiran bahwa apapun yang ia inginkan bisa ia dapatkan. Jadi, ia berlari sekencang-kencangnya membawa buku itu.
Zie berseru tidak terima, lantas berlari mengejar Dhani. Dhani sendiri mulai panik. Anak itu larinya cepat sekali. Dhani memaksa kakinya untuk berlari lebih cepat.
Secara tidak sengaja, saat Dhani akan berbelok ke arah pintu keluar, ia tidak sengaja berpegangan pada sebuah rak buku agar ia tidak jatuh. Rak itu sudah tua, sehingga saat Dhani mencengkeramnya, rak itu rubuh, mendorong rak lainnya. Rak-rak itu saling bertubrukan, seperti domino ukuran besar. Dhani kaget, buru-buru menghentikan larinya. Zie juga berhenti, menatap kerusuhan yang telah terjadi.
Dengan wajah merah padam menahan marah, sang penjaga perpustakaan—yang tadi sedang santai di mejanya—menyeret Dhani dan Zie keluar pintu perpustakaan. Ia dengan kasar merebut buku dari tangan Dhani. Kemudian ia berjalan geram masuk kedalam perpustakaan, mendorong pintunya hingga tertutup, mengunci pintunya rapat.
Dhani sadar apa yang terjadi. Ia menggedor-gedor pintu perpustakaan, berteriak keras. Sayangnya, teriakan-teriakan itu tidak ada gunanya
Sementara Zie hanya memelotot padanya sebentar sebelum berlari kearah kampungnya.
“Hei! Tunggu!” Dhani berteriak kesal. “Kamu berhutang sebuah buku padaku!”
Sialnya, anak itu juga tidak mendengarkan. Ia berbelok di jalanan, lalu menghilang.
Malamnya, ayah Dhani mendapat laporan bahwa ia harus mengganti lebih dari seribu buku di perpustakaan kampung. Katanya, itu semua salah anaknya. Ditambah fakta bahwa Dhani tidak membaca satupun buku di perpustakaan, ayahnya mengusirnya keluar rumah. Dhani dihukum tidur diluar.
Dan, tentu saja, ia menyalahkan anak perempuan sialan tadi.
***
Esok harinya, Dhani berangkat ke sekolah dengan lesu. Sudah dihukum tidur diluar, hujan-hujanan pula, sekarang ia masih disuruh berangkat sekolah.
Dhani melangkah dengan cepat, berharap bahwa nanti di sekolah gurunya tidak akan menghukumnya juga.
BRAKK!!
Dhani menabrak seseorang lagi. Anak perempuan yang sedang membawa keranjang sayuran. Dhani terbata-bata meminta maaf, bilang tidak sengaja, sambil buru-buru membantu mengambil sayuran-sayuran yang terjatuh.
Setelah selesai, Dhani memberikannya kepada si anak perempuan. “Ini milikmu. Maaf ya, tadi aku—”
Kalimatnya terputus. Sayuran yang tadi dipegangnya kembali jatuh. Astaga! Itu kan anak perempuan yang kemarin membuatnya tidur diluar!
“Kamu!” Dhani berseru ketus. “Kamu sedang apa disini? Kenapa tidak masuk sekolah, hah?”
Zie juga terkejut. Tapi kemudian ia berseru marah, “Aku tidak bisa sekolah ! Itulah mengapa aku kemarin ke perpustakaan, agar aku bisa belajar! Aku sudah berhenti sekolah karena..karena..”
Matanya mulai berkaca-kaca. Kenapa ia berhenti sekolah, Dhan tidak tahu. Zie terisak pelan sambil memunguti sayuran yang tadi dijatuhkan Dhani. Ia memasukkannya kembali kedalam keranjang, lalu berjalan pergi.
Sementara Dhani hanya berdiri mematung. Apa kata anak tadi? Ia berhenti sekolah? Bukankah seluruh anak-anak di kampung sudah bersekolah?
Saat ia sudah pulang ke rumah, Dhani segera berlari masuk kamar, membuka laci belajarnya, dan mengeluarkan sebuah kotak kecil. Ia membuka kotak itu, dan menghitung uang kertas didalamnya.
Sore itu juga, Dhani berjalan ke rumah Zie dengan gugup. Ia mengetuk pintunya perlahan. Zie sendiri yang membuka pintu. Terlihat sekali dia masih marah.
Sebelum Zie sempat meneriakinya untuk pergi, Dhani berkata pelan, “Maaf, tadi aku sudah teriak-teriak begitu padamu. Itu tidak sopan. Sebagai gantinya, maukah kamu kubiayai sekolahnya?”
Zie sontak terdiam. Dibiayai sekolah?
Dhani mengulurkan tangannya. “Aku Dhani.”
“Zie.” Zie menjabat tangannya. “Kamu… sungguhan mau membiayaiku sekolah?”
Dhani mengangguk. Ia sudah yakin.
“Kenapa?”
“Aku selama ini hanya menggunakan uang yang aku miliki untuk membeli barang-barang yang tidak berguna. Aku baru sadar, masih ada orang yang lebih membutuhkannya daripadaku. Kamu lebih dari berhak untuk menggunakannya.” Dhani memberikan tumpukan uang kertas pada Zie.
Zie mulai menghitungnya. Uang itu lebih dari cukup untuk daftar sekolah dan membeli perlengkapan. Bahkan masih bisa digunakan untuk membeli keperluan sehari-hari di rumah.
Zie tersenyum lebar. “Terima kasih. Sungguh, terima kasih.”
Dhani balas tersenyum. “Aku yang berterima kasih. Terima kasih telah mengajarkanku untuk bersyukur, untuk tidak berlebihan dalam menggunakan sesuatu.”
MasyaAlloh keren sekali ceritanya Alviora 👍🤩
Wah bagus sekali cerpennya.. ide
tema ceritanya suka dehh.. 💛
Kk fiora cerpennya bagus banget..
Sukses ya buat kk fiora
Like Fiora
Fiora ife ceritanta bagus bangeeet. Alur ceritanya juga mengalir dengan baik. Pemilihan katanya ngebuat kita sebagai pembaca jadi ga berasa lg baca cerpen 😄 Sukses terus Fiora dalam karya karya selanjutnyaaa🤎
MasyaAllah Fiora bagus sekali cerpennya, semoga semakin banyak anak2 Indonesia yg baik hati dan suka menolong ya. Terus menulis dan sukses terus!
MasyaAllah..kaka fiora keren dan bagus cerita nya..sukses ya kak..😘😘
MasyaAllah..kaka fiora keren dan bagus cerita nya..sukses ya kak..😘😘
Suka sama jalan cerita cerpennya…Masya Allah
Semoga makin sukses ya kakak Fio 👍
😘😘
Keren sekali Fiora, semangat terus berkarya 👏
Cerpennya keren, plot twistnya tidak terduga. Sukses terus Fiora
Masya Allah alviora ceritanya bagus dan seru sekali.. 👍
Masya Allah bagus dan keren bgt cetitanya.. 👍👍👍
Kereeen Fioraa
Smg mendptkn yg terbaik!
MasyaAllah tabarokallah smoga berhasil ya kak alfiora
MasyaAllah bagusnyaaa, Fiora 💚👍
Cerpen ini sangat bagus sekali.. mengajarkan anak utk saling membantu dan mengajarkan anak betapa penting nya pendidikan.. semoga utk kedepannya cerpen2 dr Alfiora akan lebih bagus lagi dan lebih banyak lg ragam ceritanya
Keren ceritanya 👌👌
Wooow keren dan bagus sekali ceritanya
Bagus Cerpennya Kak!
Wah, keren sekali cerita ini!
Bagus banget ka cerpennya,menginspiras anak2 di indonesia