Gadis di Bus Kota

Penulis : Intan Permata Sari

Malam yang diselimuti mendung itu membawa hawa dingin bagi seluruh penduduk bumi. Di jalanan yang lengang melintaslah sebuah bus kota yang agak reyot yang membuat suara-suara pengusir sepi tengah malam. Isi bus itu hanya tiga orang. Supir yang fokus terus ke jalanan, seorang pemuda usia akhir 20-an, dan seorang gadis belia, sepertinya masih sma. Mereka sama-sama sibuk dengan aktivitas masing-masing, tak ada suara percakapan kecuali deru mesin.

Sang pemuda itu, Lintang, tengah sibuk dengan earphonenya dan video anak kucing yang berlarian. Ia merapatkan jaket untuk menahan dinginnya ac bus yang sedari tadi menyala, sebenarnya ia tak tahan dingin, namun bagaimana dengan orang lain yang kepanasan kalau acnya mati? Begitu pikirnya. Sungguh kontras dengan penampilannya yang tinggi besar, berambut gondrong, dan tatapan menakutkannya itu, hatinya seperti bunga, seumur hidup tak pernah berkata kasar pada orang lain.

Ia naik bus itu demi kembali ke kampung halamannya yang tinggal satu kota lagi. Sudah enam tahun ia tak pernah pulang karena urusan pekerjaan. Entah berapa macam pertanyaan seputar pernikahan yang akan ia terima nantinya selain pelukan pelepas rindu. Tapi selain itu, video kucing yang ia tonton juga tak kalah pentingnya, mereka adalah penenang jiwa lelaki gondrong ini, seperti obat dari dokter untuk penyakit nervousnya.

Klik. Meow-meow.

Disisi lainnya, duduklah gadis belia yang manis sedang menatap jendela. Rintik hujan mulai turun dan menari di permukaan kaca. Karena hari sudah malam, tentu saja yang nampak di jendela hanya bayangan wajah ayunya dan wajah lelaki gondrong di seberang. Ia menoleh dan melirik lelaki itu. Nampak seperti penjahat, pikirnya. Namun jika ia seorang penjahat sudah sedari tadi ia tak akan selamat di bus ini. Bukan.

Gadis itu menggeser pantatnya dan mengintip apa yang sedang dilihat lelaki gondrong itu. Video kucing. Ia terkikik melihat anak-anak berbulu itu melompat kesana kemari dan membuat senyum merekah di bibir sang lelaki gondrong. Ia mendekat lagi dan sebuah guncangan menubrukkan ia dan lengan lelaki itu.

Diam.

Gadis itu kaget. Lelaki itu apalagi, ia tak pernah menyentuh kulit perempuan seumur hidupnya, bertatapan saja tidak. Cepat-cepat lelaki itu bergeser dan menampakkan bahasa tubuh ingin minta maaf.

“Maaf.” Ucap mereka berdua.

Ah! Malu sekali. Lelaki gondrong ini menunduk dan mukanya memerah seketika. Si gadis nampak bersalah, dan tersenyum demi mencairkan suasana.

“Maafkan saya ya mas.”

Lintang mengangguk sambil tersenyum kaku. Kemudian suasana kembali normal, kecuali dua insan itu yang hatinya tak karuan. Ia melirik sang gadis itu yang mulai sibuk dengan ponselnya. Rambutnya panjang lurus sebahu, kulit coklat, kaus lengan panjang warna ungu, rok jeans, dan sebuah tas punggung warna krem yang penuh. Kemudian gadis itu tiba-tiba menoleh. Mata mereka saling bertemu. Indah sekali pekiknya dalam hati.

“Mas.” Gadis itu mendekat dan mengulurkan tangannya sambil tersenyum, “Wulan.”
Tanpa ia sadari tangannya menggenggam tangan gadis itu, “Li..Lintang.”
“Hihi.. masnya lucu deh.”
Pias. Pipi Lintang memerah. Baru kali ini ada gadis yang mengajaknya bicara. Kemudian ia menyadari bahwa satu menit lebih ia berpegangan tangan.

“Maaf ya mbak..”
“Nggak papa kok. Masa dari tadi kita maaf-maafan terus? Nggak ada topik lain? Kucing misalnya?”
“Kucing?”
“Aduh.. haha..” Wulan memegangi perutnya, “sepertinya itu jawaban saya kenapa kita bisa tubrukan tadi.”
“Oh ya? Gitu ya. Hehe..”
“Haahh.. saya bosan dari tadi nggak ada teman bicara jadi nyelonong aja gitu.”
Lintang bersandar pada tempat duduknya, “Ya, saya juga bosan sih mbak.”

Bruumm. Ciittt… bus tersebut berhenti sejenak di lampu merah yang ternyata ramai akan pedagang-pedagang pasar dan penjual warung untuk persiapan pagi hari. Kemudian bus berjalan lagi.

“Mas Lintang asli mana?”
“Desa Trate Putih, kalo dari habis kota ini, masuk ke gunung. Mbaknya?”
“Lha sama dong. Saya rumahnya di pucuk gunung, paling pucuk.”
“Kok nggak pernah denger nama Wulan ya? Kalo ada ya Mbah Wulan itu, sekarang orangnya udah meninggal.”
“Hush! Iya tau!” Wulan merengut, “nama saya emang sama dengannya, tapi satu-satunya Wulan yang masih muda ya cuma saya doang. Emang situ, namanya aja saya nggak pernah denger di desa!”
Lintang memijit dahinya, belum apa-apa kok sudah marah.

“Tapi kalo nama Nata pernah denger?”
“Ohhhhh…” Suara Wulan memenuhi bus, “Tau-tau! Anaknya pak Kades kan?”
Lintang mengangguk.
“Kok mas penampilannya jadi gini sih? Pake brewok segala lagi, kayak preman, saya nggak kenal, ya ampuun.”
“Yah, namanya juga orang kota Wul.”
“Bagi saya tetep orang desa sih mas.”
Lintang memutar matanya. Seperti kata ibunya, perempuan selalu benar, bahkan bapaknya saja sampai tunduk jika ibunya angkat bicara sambil mengungkit masa lalu.

“Dulu mas itu penampilannya lebih ganteng, rapi, jadi inceran cewek-cewek desa, malah sekarang gantengan Mas Joko.”
“Kok banding-bandingin sama kakangku sih?” Lintang sekarang yang merengut.
“Pfffttt…”
Wulan terkikik sambil menunjukkan giginya yang kecil-kecil dan bersih. Jika ia sudah bertemu orang satu desa memang rasanya seperti keluarga sendiri, seenaknya tertawa dan membuat kesal.

“Jadi, kamu anaknya siapa Wul?”
“Tau pak Yono tukang kayu?”
“Iya.”
“Aku tetangganya. Nama ibuku Bu Marni, tau kan?”
“Ohh, sekertaris PKK.”
“Nahhh… Ternyata mas Nata masih inget ya.”
“Lintang. Panggil aku aja Lintang.”
“Kok gitu?”
“Ya temen-temenku manggil gitu sih.”
“Ohhh…”

Tiba-tiba telepon Wulan berbunyi, sepertinya dari keluarganya yang bertanya sudah sampai mana. Dengan sopan Lintang menunggunya. Ia melihat keluar jendela dan memperhatikan lampu jalan, gerimis telah berhenti rupanya, namun rasa dingin ac dan dinginnya jendela makin menjadi karena sudah dekat wilayah pegunungan. Kemudian ia alihkan pandangannya ke gadis itu. Rasanya ia begitu familiar dengan wajah itu, tapi ia ingat jika wajah itu tidak terlalu sering hadir di desa itu.

“Mas?”
“Eh.” Lintang tergagap ketika mencuri pandang.
Wulan mendadak kelabu, “Gimana menurut mas soal perjodohan?”
“Hah? Emang kamu mau dijodohin?” Lintang sedikit kecewa.
“Nggak. Ini lho..” ia menunjukkan sebuah rekaman sinetron yang sedang booming, “aku dengar mereka dijodohkan, huuuhhh… padahal aku lebih memilih Rama menikah dengan Sintiaa..”
“Gaje!”
“Pffttt hahahaaha… keliatan serius banget deh, kan cuma perjodohan.”
“Justru aku kabur karena mau dijodohin.”
“Hah?!”

Wulan berdiri dan menggeser tempat duduknya dan berada di samping Lintang. Matanya nampak penasaran bagai wartawan berita gossip sementara Lintang terpojok di dekat jendela.

“Jadi itu alasan kenapa Mas Lintang nggak pernah kelihatan lagi? Aku pikir mas kenapa gitu.”
“I..iya gitu.”
Wulan memperbaiki duduknya, “Bukannya kepo nih mas, aku kepengen tahu kenapa mas menolak perjodohan itu?”
“Ya itu kepo namanya.”
“Terus kalo mas kabur, ngapain aja di kota orang?”
“Ya kuliah, kerja, cari kesibukan lain.”
“Nggak pernah pacaran gitu? Kan biasanya kalo menolak perjodohan itu bisa jadi ada orang yang dia cintai.”
“Aku belum pernah jatuh cinta sih. Jatuh dari tangga iya.”
“Terus mas itu doyan sama wong lanang juga??”
“Lambene dijaga ya! Masih suka sama cewek lah. Ini kamu deketin gini aku keringat dingin lho!”
“Lha pengakuan.”
“Ngapain sih deket-deket? Haram.”
“Dih padahal tadi salaman aja mau, ustadz gak jelas.”
“Ya..ya.. udah sana..”
“Santai mas!”
Wulan pun kembali ke tempat duduknya. Hening.

“Mas.”
“Apa?” Lintang masih agak kesal.
“Sebenernya aku juga takut kalo pulang terus dijodohin.”
“Ya kabur.”
“Nggak bisa gitu. Nanti malah ibuku yang digosipin orang. Kasihan.”
“Ya kan demi kebahagiaan sendiri masa ga boleh bahagia?”
“Ya Mas Lintang enak orangtuanya terpandang, mana berani digosipin!”
“Wes wes.. malah bahas privilege.”
“Ya bener dong, malahan setelah mas pergi jangankan menghujat keluarga mas, orang-orang aja pada bilang kalo mas itu simbol cinta sejati yang menolak perjodohan.”
“Hah? Julukan macam apa itu?”
“Ya pokoknya gitu. Coba kalo aku yang kabur, pasti dicap anak durhaka, ibunya digosipin sampe pindah rumah.”
“Itu kan kalo kamu dijodohin. Overthinking sih.”
“Ya gara-gara bahas perjodohan.”
“Yang bahas siapa?”
“Wulan.”
Lintang tersenyum jail dan mengacak rambut Wulan.

“Intinya sih Wul, aku kabur itu bukan karena aku dapet curhatan dari dia kalo dia itu sudah punya orang yang dicintai, sedangkan aku aja cinta dia nggak, aku juga nggak mau nikah muda, jadinya ya kabur.”
“Lha bukannya enak gitu?”
“Ye, kalo celap-celup ya jajan aja bisa.”
“Jajan?”
“Iya jajan.”
“Aku bahas nikah kok mas bahas jajan, ada-ada aja, nanti aku beliin di pasar jajannya.”
Lintang terdiam sebentar kemudian menepuk dahinya. “Iya nanti beliin, nitip, atas nama Nata.”
“Apa hubungannya sama jajan? Nikah ya nikah, jajan ya jajan.”
“Iya deh iya.”

Jam menunjukkan pukul setengah empat. Sebentar lagi shubuh dan mereka akan sampai di gerbang desa. Mata Lintang mulai memberat tapi terbuka lagi setelah mendapat cubitan di lengan.

“Apa?!”
“Bentar lagi sampai kok tidur.”
“Ya ngantuk lah, semalam suntuk diajak ngobrol.”
“Lanjut dong soal masalah perjodohan itu, masih penasaran.”
Lintang mendelik seketika, “awas nanti kamu kulamar kalo sampe ngelanjutin obrolan tadi!”
“Aahhh gak mauu… mau sama mas Joko aja!”
“Mas Joko udah nikah!”
“Jadi istri kedua!”
“Aku cukur jadi ganteng awas ya!”
“Ihhh.. serius amat.” Wulan cemberut lima senti.

“Umurmu berapa?”
“Nggak sopan nanya umur!”
“Umurnya berapa tante?”
“Dua puluh.”
“Lha cukup dong kalo kulamar, kamu dua puluh aku dua puluh delapan.”
“Hilih! Kin*il.”
“Mulutnya.” Lintang menyentil bibir Wulan.
“Iya.. iya.. bercanda kan tadi?”
“Bercanda nggak yaa??”
“Maassss!!!”
“Ahahahaha…”

Bus melaju melalui jalan lika-liku di pegunungan. Suara adzan mulai terdengar di ujung sana. Bus berhenti di gerbang desa dan menurunkan dua orang ini. Bapak dan Ibu Lintang serta kakak Wulan telah menunggu di depan gerbang. Sebelum turun mereka mengambil barang mereka sembari mengobrol sedikit-sedikit.

“Duluan ya Mas Lintang, Pak Kades, Bu Bidan.” Wulan pun berlalu menaiki motor bersama kakak lelakinya.

Sementara itu.
“Ya Allah leee… cukur besok cukur!” teriak ibu Lintang.
“Anaknya pulang kok gitu sih bu?”
“Buk, anakmu sehat wal afiat ini.” Lintang hanya tersenyum kecut mengingat ia begitu sayang sama rambutnya.

Setelah berpelukan mereka pun masuk mobil dan pulang bersama.
“Asik ya tadi satu bis sama Si Gembrot?” Tanya ibunya sambil tersenyum.
“Gembrot? Namanya Wulan bu, orangnya juga kurus.”
“Iya dulu si Gembrot, kamu yang kasih julukan itu ke dia, anaknya Bu Marni.”
“Dia Gembrot yang itu? Yang item dekil kayak tanah sawah itu? Anak wedok ra diurus iku??” Lintang mendadak kaget dan memori masa lalunya melayang.
“Sekarang anaknya cantik lho, bapak mau jodohin..”
“Pakkk..” Lintang merengut.
“Ya kalo kamu cinta, hehe.” Sambung bapak.

“Nikah ya le.” Kata ibu.
“Aku minggat lagi lho.”
“Yaampun bercanda!” kata ibu.
“Tadi panggil kamu pake nama yang special lho, Lintang, cuma Mas Joko lho yang panggil kamu begitu, ada apa ini le?” bapak makin menggoda Lintang.
“Pak aku balik ke kota aja.”
“Ehehehe.. udah sholat dulu yuk. Tuh ada si Wulan juga, imamin sekalian.” Kata bapak.
“Bapaaakk…”

Mungkinkah karma? Mungkin.

Mobil berhenti di pekarangan mushola dan seluruh penumpang turun untuk mengambil wudhu. Lintang berjalan menuju tempat wudhu dan berpapasan dengan Wulan lagi. Mata mereka bertemu, namun kini Lintang yang malu karena ia pernah mengatai gadis manis ini gembrot dekil. Wulan tersenyum dan berjalan melaluinya.

“Wul.”
“Iya?”
“Hai lagi.”
“Pffttt.. udahlah, sholat dulu, nanti kita sambung yang tadi.”
“Nggak gitu maksudnyaaa…”
“Ohh.. jadi aku yang harus ngelamar duluan gitu?” tanya Wulan sengaja dikeraskan.
“Gue tandai lu ya!” kata Lintang dengan nada kekotaan lalu keburu kabur ke tempat wudhu karena malu, meninggalkan Wulan yang tertawa.

Wulan lalu berjalan masuk ke mushola. Beberapa menit kemudian sholat shubuh dilaksanakan. Hari mulai pagi, cahaya matahari menyinari bumi. Semua orang kembali ke rumah masing-masing, kecuali para petani dan orang-orang yang bekerja di pagi hari, tak lupa para anak sekolah yang lalu lalang di jalanan. Sembari menikmati pemandangan desa di atas motor kakaknya, Wulan mengingat-ingat sebuah peristiwa antara dia dan ‘Mas Nata’ alias ‘Mas Lintang’ karena maunya dipanggil begitu.

Beberapa tahun sebelum Lintang pergi dari desa…

“Dasar Gembrot!” teriak Lintang.
Sambil merengut Wulan berteriak, “Hei kalo aku cantik nanti Mas Nata yang jadi suamiku! Karma selalu berlaku!”
“Mana mungkin kamu jadi cantik mbrot? Nggak bisa!”
“Awas yaaa!!!”

Kembali ke masa sekarang diatas motor. Ia sudah sampai di rumahnya, ibunya menyambut gembira dan mereka masuk kedalam. Wulan menaruh barang di kamar, dan duduk di pinggir kasur sambil melihat sebuah foto seorang Lintang ketika masih belum gondrong. Ia tersenyum sambil memandangi cinta pertamanya itu. Dalam hati ia berkata, “Mas Nata atau kupanggil Mas Lintang, kamu kena karma, sekarang nikahin aku.”

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

One Reply to “Gadis di Bus Kota”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *