Penulis : M. Putra
“Maaf, Mas, belum Ada lowongan. Coba lain kali, ya.” Tubuhku kembali lemas, mendengar jawaban dari petugas keamanan yang berjaga di sebuah perusahaan swasta.
Entah kenapa, matahari tampak lebih garang hari ini, sinarnya seakan menjilati kulitku dengan lidah apinya. Sudah lebih dari lima jam aku berjalan mengelilingi kawasan industri. Mengetuk gerbang satu ke gerbang lainya, mencoba menawarkan diri melamar pekerjaan. Namun, sampai tengah hari belum juga ada perusahaan yang menerima. Bahkan untuk tes pun tidak ada.
Gedung-gedung berbaris rapi, menjadi pemandangan sepanjang perjalanan. Tenggorokanku mulai kering, sedangkan uang di saku hanya cukup buat ongkos pulang saja.
Setelah keluar dari kawasan industri kini jalanan mulai ramai, tepat di perempatan aku berhenti. Memperhatikan sekitar, lalu-lalang kendaraan terus bergantian. Dari seberang seorang pria berpakaian lusuh, duduk bersimpuh. Tangan kanan menyangga tubuhnya sedangkan tangan kirinya menengadahkan wadah dari gelas plastik ke pengendara yang lewat.
Hari ini adalah kepulanganku setelah empat tahun merantau. Sesampainya di kampung, sebelum ke rumah, aku sempatkan diri untuk mampir ke warung si Yudi, tempat nongkrong dulu waktu masih hidup susah.
“Sudah sukses sekarang kamu, ya, Mar.” Yudi menepuk punggungku lalu duduk.
“Biasa aja, Yud, hehehe….”
“Ngomong-ngomong, kerja apa kamu di Jakarta? Ajaklah, siapa tahu aku bisa sukses juga kaya kamu.”
“Kerjaanku berat, Yud. Aku di Jakarta jadi marketing.”
“Marketing, pekerjaan apa itu?”
“Bahasa Jawanya, jualan, Yud.”
“Oh, dagang, to.”
“Yo wes, Yud, aku pulang dulu, ya, anak dan istriku pasti nungguin.”
“Ok, suwun, yo, Mar. Sudah mampir.”
Aku berjalan pulang, segera menemui anak dan istriku. Saat aku berangkat merantau, perekonomian keluarga sedang hancur, hutang di mana-mana, dan anak pertamaku baru lahir. Aku beranikan diri merantau ke Jakarta, bermodalkan ijazah SMP mencoba peruntungan di ibukota.
Alhamdulillah, setelah merantau kehidupan keluarga mulai membaik, tiap bulan aku bisa mengirimkan uang untuk istri dan anakku, bahkan tahun ini rumah sederhana sudah berdiri, rumah milik sendiri.
Setelah tiga bulan di kampung, dan semua urusan sudah selesai. Kini aku harus merantau lagi ke kota. Berat memang meninggalkan keluarga, apalagi kemarin istriku bilang kalau dia telat datang bulan, itu artinya akan ada anggota baru dalam keluargaku.
Dengan semangat baru dan harapan yang lebih besar, aku berangkat ke kota. Tempat di mana aku bisa mengumpulkan uang untuk kelangsungan hidup keluarga.
Pagi belum sempurna, saat aku harus memulai aktivitas seperti biasa. Libur bekerja selama tiga bulan membuat badanku terasa kaku. Celana jeans dan kemeja putih sudah melekat di badan, ‘tak lupa tas gendong menempel di punggungku. Dengan semangat kaki melangkah menuju tempat biasa aku mencari nafkah.
Sebenarnya aku merasa beruntung, saat dulu tidak ada satu perusahaan pun yang mau menerimaku bekerja. Kini lebih sukses, bekerja sendiri tanpa ada perintah dan paksaan dari siapapun. Tidak ada aturan dan jam kerja. Penghasilan diatur sendiri, mau banyak atau sedikit tergantung dari kemauan dan kerja keras. Terkadang aku kasihan dengan mereka yang bekerja kantoran. Pergi pagi, pulang petang, tapi gaji hanya cukup buat makan dan tidur saja.
Butuh waktu tiga puluh menit untukku sampai di tempat kerja. Segera aku masuk ke dalam toilet umum yang tidak jauh dari lampu merah. Baju dan celana aku lepas, berganti dengan seragam kerja harian. Kaos lusuh penuh dengan debu, celana panjang yang sudah dimodifikasi. Sedikit susah memang untuk memakai celana, karena aku harus menekuk satu kaki ke belakang, lalu mengikatnya. Butuh lima belas menit untuk berganti seragam.
Aku keluar dari dalam toilet dengan tongkat menyangga tubuhku di bagian kiri. Tangan kanan memegang botol air mineral yang sudah aku potong setengah. Berjalan dengan satu kaki dan tongkat menuju ke lampu merah, kemudian duduk tepat di bawah pohon rindang di antara sibuknya lalu lalang pengendara.
Saat lampu berwarna merah, tubuhku sigap bergeser perlahan ke tengah-tengah jalan. Lima belas menit, waktu yang aku punya untuk mengumpulkan uang dari belas kasih pengendara. Siapa orang yang tidak iba, melihat lelaki kurus dengan kaki patah satu, berjalan dengan pantat sebagai tumpuan di tengah teriknya matahari kota.
Dalam waktu lima belas menit sedikitnya sepuluh ribu bisa masuk dalam botol air mineral yang aku bawa. Pekerjaan ini terus berulang hingga pukul lima sore. Saat tas yang kubawa dirasa sudah penuh, biasanya aku akan pulang. Beranjak dari lampu merah, menuju toilet umum dan segera berganti pakaian lagi. Jangan ditanya rasanya seperti apa kakiku. Kesemutan, pegal dan kebas, itu hal biasa. Namun, sebanding dengan apa yang aku dapat. Dalam satu hari, biasanya membawa pulang sekitar empat sampai lima ratus ribu.
Tidak mudah untuk bisa sampai pada titik ini, ada banyak perjuangan yang harus dilewati. Saat awal pertama menjalani profesi ini, terasa sangat sulit. Jangankan sepuluh ribu, dalam satu hari belum tentu ada yang berbelas kasihan. Belum lagi harus berurusan dengan para senior yang sudah terlebih dahulu menduduki wilayah ini. Setiap harinya harus ada rupiah yang kita setor ke pemimpin. Ya, setiap wilayah ada pemimpin masing-masing yang bertugas mengumpulkan pajak dan menjaga keamanan dari setiap anggotanya.
Pertemuanku dengan Tarjo waktu itu telah mengubah cara hidupku. Pria yang menolongku dari kelaparan karena kehabisan ongkos dan menawariku pekerjaan itu sudah aku anggap sebagai ayahku sendiri.
Aku masih ingat ketika awal-awal menjalani profesi ini.
“Kalau caramu mengemis seperti itu, mana ada orang yang mau kasihan,” kata Tarjo di sela-sela istirahat makan siang kami.
Setiap jam dua belas, kami biasanya berkumpul di balik tembok di belakang ruko untuk mengganjal perut. Di kawasan lampu merah ini, ada sekitar empat orang yang bekerja.
Tarjo yang paling senior berperan sebagai pria tua peminta sumbangan untuk bantuan pembangunan sebuah pondok pesantren.
Joni, pria kurus berambut ikal dan tidak terurus, berperan sebagai pria buta dengan dibantu oleh Mita, gadis kecil yang selalu ingusan.
Sari, ibu dua anak ini bertubuh lebar dan bersuara merdu. Dia akan bernyanyi saat lampu lalu lintas berwarna merah, dengan bantuan pengeras suara yang ia gantung di lehernya. Suaranya yang merdu khas sinden pantura banyak menyita perhatian para pengendara.
Kemudian yang terakhir ada aku, pendatang baru yang masih terus belajar dari para senior. Pada awalnya aku diajari untuk menjadi peminta sumbangan bersama Tarjo, setelah lulus lalu sekarang aku mencoba menjadi pengemis. Namun, dengan keadaan fisik dan usiaku, ‘tak banyak orang yang bersimpati.
“Lalu, aku harus bagaimana, dong, Bang?” jawabku.
“Penampilan kamu harus lebih menyakitkan lagi, Mar.” Joni menimpali.
“Iya, Mar. Misal, kaki kamu buntung atau tangan kamu hilang satu,” seru Sari sambil melahap makan siangnya.
“Caranya?” Aku masih bingung dengan saran mereka.
“Ya, kamu tekuk aja kakimu satu ke belakang.”
“Waduh, kesemutan dong ntar, kakiku.”
“Yaelah, Mar. Nanti juga terbiasa. Lagian kalo mau sukses harus berkorban, Mar.” Tarjo menjelaskan dengan semangat.
Mulai hari itu, aku berperan sebagai pria dengan kaki buntung yang berjalan dengan pantat. Ternyata benar kata mereka, kini penghasilanku lebih banyak dari sebelumnya. Walau di awal kakiku seperti mati rasa tapi seolah terbayar dengan hasil yang kudapat.
[Mas, kapan pulang?] Sebuah pesan Whatsapp dari Aminah.
[Mungkin minggu depan, Dek. Kenapa?]
[Gak bisa besok aja, Mas. Sepertinya kelahiran anak kita maju. Dari siang perut adek udah mules, Mas.]
[Yaudah, besok aku pulang, ya.]
Malam ini mataku tidak bisa terpejam, gelisah memikirkan istri yang sudah mau melahirkan. Begitu pagi, segera menuju ke stasiun untuk pulang kampung.
Tepat pukul Lima sore aku tiba di kampung, istriku sudah dibawa ke bidan desa oleh tetangga. Setibanya di bidan, aku melihat si sulung Aris sedang duduk.
“Mana, mama kamu, Ris.”
“Eh, ayah dah sampe, mamah di dalam, Yah.” Aris menunjuk ruangan dengan pintu kayu berwarna putih.
“Yaudah, ayah masuk dulu, yah. Kamu tunggu di sini, jagain tas ayah.” Aris mengangguk lalu memangku tas ransel yang aku bawa.
Belum sempat aku berjalan, pintu terbuka dan suara tangis bayi memecah keheningan ruangan.
“Ada keluarganya Ibu Aminah?” teriak ibu berpakaian serba putih.
“Saya, Bu, saya suaminya.”
“Ayok, Pak. Masuk anak Bapak sudah lahir.”
Aku segera masuk dan menghampiri istriku, dia terlihat lemas.
“Mas, kamu udah dateng. Mana anak kita, Mas?”
“Aku baru sampai langsung kesini, anak kita lagi diurus sama bidan. Kamu istirahat aja dulu.”
Aku segera menghampiri anakku, sudah tidak sabar ingin menggendong dan mengadzaninya.
“Mana, anak saya, Bu?” tanyaku pada perawat yang sedang sibuk merapikan ruangan persalinan.
“Di ruang sebelah, Pak. Mari ikut saya.”
“Baik, Bu.”
“Sebelumnya saya mau bilang, Pak. Tolong Bapak bisa bersabar, ya. Anak Bapak lahir dengan normal hanya saja, dia mengalami kelainan.”
“Maksud, Ibu?”
“Bapak, lihat saja sendiri, ya.”
Perasaanku tidak enak, gelisah, ada apa sebenarnya dengan anakku. Begitu sampai di ruang inkubator, aku melihat anakku sudah dibedong dengan kain. Perawat segera mengeluarkan anakku dari dalam kotak kaca dan membuka kain yang membungkus anakku.
Betapa terkejutnya aku, melihat buah hatiku. Dia terlahir dengan kulit yang putih bersih, rambut hitam tebal, wajah yang tampan, tapi…
“Ya, Allah, inikah balasan yang engkau berikan padaku.” Aku terduduk lesu, mataku tak bisa lagi menahan air mata. Isi kepalaku terus berkecamuk, terkenang semua dosa dan kesalahanku, selama mencari nafkah untuk menghidupi keluargaku.
Aku beranikan untuk berdiri dan menggendong bayi laki-laki mungil itu.
Kulihat lagi kakinya, ternyata memang benar, dia hanya mempunyai satu kaki. Bagian kiri utuh seperti bayi pada umumnya, tapi kaki sebelah kanan hanya sebatas lutut saja. Persis seperti kakiku selama ini ketika melakoni kehidupan di perantauan.
Setelah selesai mengumandangkan adzan di telinganya, aku menaruhnya kembali ke atas kasur dan membisikan sesuatu di telinganya.
“Kamu akan menjadi penerus ayah, Nak. Kamu adalah aktor yang sempurna yang Tuhan titipkan padaku.”
Tamat