Penulis : Agustinus Gereda
Setelah menyelesaikan pendidikan di SMA, Sabina memilih Teknik Sipil. Rasa-rasanya tak ada pilihan lain, kecuali prodi yang satu ini.
“Apakah tak keliru pilihanmu itu, Nak?” Ibu mempertanyakan hal itu karena merasa tak yakin.
“Sebagai anak perempuan, sebaiknya kamu pilih prodi lain yang lebih cocok, misalnya Teknik Informatika,” saran ayah sekenanya.
Sabina menarik napas panjang. Sementara ibu dan ayah saling berpandangan, membisu di hadapannya.
“Ini ‘kan belum definitif,” batin Sabina. Saat pendaftaran ia diberi dua pilihan: Teknik Sipil atau Teknik Informatika. Tinggal menunggu hasil tesnya.
Waktunya tiba. Sabina harus mendengarkan pengumuman di kampus. Jantungnya berdebar-debar, tak sabar menunggu berita itu.
“Kamu lulus untuk Teknik Sipil, Sabina?” teriak Yolenta, sahabatnya yang juga tembus prodi yang sama.
“Hore, pujiTuhan!” Kegembiraan tak kuasa menyembunyikan perasaan kedua putri asli Papua itu. Mereka pun segera beranjak pulang. Tampak senyum dikulum. Bahagia bak sang petani membawa pulang berkas-berkas panenannya.
“Aku lulus Teknik Sipil, Bu,” seru Sabina kegirangan setelah tiba di rumah.
“Jika memang itu pilihanmu, Ibu dan Ayah pasti mendukung,” sahut ibunya sambil memberikan segelas air putih kepada Sabina.
Setelah mengikuti program pengenalan kampus, Sabina mulai mengikuti kuliah. Tatap muka setiap mata kuliah didahului dengan kontrak perkuliahan.
“Tenang, Sabina,” katanya dalam batin. Ia harus beradaptasi. Tak hanya dengan materi kuliah yang terbilang baru dan asing. Ia pun harus beradaptasi dengan lingkungan sosialnya.
“Rupanya kamu mau coba-coba di sini, ya?” Seorang teman lelaki mencibir dengan nada meremehkan.
Rasanya mau membalas umpatan temannya itu. Namun, Sabina mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih diam. Diam itu emas, kata orang bijak.
“Jual mahal lagi,” sambung seorang teman lelaki lain yang terus menggodanya. Lagi-lagi Sabina memilih diam. Ia mengelamun dan mengingat kembali kata-kata ibu dan ayahnya.
“Ayo, kita ke kantin!” Teriak Yolenta membangunkan Sabina dari lamunannya. “Kaget, tahu?” seru Sabina.
Hari berganti hari. Sabina terus rajin mengikuti kuliah. Namun, ada mata kuliah yang dirasa sangat sulit.
“Sabina, mengapa tugasmu tak bisa tuntas?” tanya dosen mata kuliah Kalkulus dengan nada kesal.
“Sebenarnya, aku tak paham, Bapak,” jawab Sabina dalam hatinya. Tak berani mengeluarkan suara.
Keesokan harinya Sabina dicecar oleh dosen mata kuliah Manggambar Rekayasa. “Mengapa, kamu buat gambar sembarangan?”
Sabina merasa tak nyaman. Rasa minder pun menggerogoti nurani polosnya. Apalagi berhadapan dengan teman-teman lain, yang tampaknya pintar-pintar.
“Inikah yang diragukan Ibu, kemarin?” Sabina membatin sembari menutupi rasa malunya. Matanya mencari-cari sahabatnya. Tetapi, ternyata Yolenta tak masuk sejak tiga hari yang lalu.
Dalam situasi tak nyaman, Sabina merasa seakan-akan ditinggalkan sahabatnya. Tak ada lagi orang yang diandalkan dalam menghadapi badai akademik.
“Jangan mundur, Nak!” Kata ibunya memberikan peneguhan.
“Terima kasih, Bu.” Ternyata Sabina tak berjuang sendiri. Masih ada ibu, apalagi ayahnya yang senantiasa memberikan dukungan, tanpa banyak berbicara.
Meskipun tertatih-tatih, Sabina menyelesaikan semester satu dengan cukup baik. Sementara, Yolenta, sahabatnya tak bisa tuntas. Kehadirannya di beberapa mata kuliah di bawah 75 persen.
Semester dua pun tiba. Sabina pun mengalami kesulitan dalam mata kuliah tertentu. Namun, ia bisa tuntas dengan IP yang cukup.
“Mengapa kamu meninggalkan aku?” Sabina kecewa setelah mendengar kabar tentang DO Yolenta, sahabatnya.
Waktu terus berlalu. Sabina tetap berjuang. Jalan masih panjang, penuh lika-likunya. Kesulitan menyelesaikan tugas-tugas akademik tak kunjung putus. Rasanya sudah menjadi makanan sehari-hari.
“Apapun, aku harus berjuang. Bersaing dengan teman-teman, itulah cita-citaku.” Begitulah tekad Sabina saat-saat diterpa badai kehidupan kampus.
“Tetapi, kamu tak cepat memahami materi ini, Sabina.” Dosen berkilah sambil mengarahkannya mengikuti program remedial di luar jam kuliah.
“Aku tak akan menyerah demi Ibu dan Ayahku.” Tekad Sabina dalam hatinya tanpa melupakan Tuhan.
Setelah menuntasi KKN dan PKN, Sabina mengusulkan topik penelitian. Dosen pembimbing menantangnya karena topik pilihannya tak begitu relevan.
“Ada apalagi, Sabina?” Batinnya setelah keluar dari ruangan dosen pembimbing. Sabina segera mempertajam permasalahannya pada bagian pendahuluan.
“Segera mengajukan lamaran untuk sidang proposal, ya?” Kata Ketua Prodi sambil melemparkan senyum tulus kepada Sabina.
Saatnya tiba. Sabina maju dalam sidang proposal bersama dua orang teman lain. Namun, malang tak dapat ditolak mujur tak dapat diraih.
“Apa …?” sahut Sabina saat menerima telepon suara dari adiknya.
“Ayah, Kak …” sambung adiknya terbata-bata.
“Kenapa, dengan Ayah?” tanya Sabina tak sabar.
“Ayah jadi korban tabrak lari setelah keluar dari kantornya. Nyawanya tak dapat ditolong.”
Sabina menangis sejadi-jadinya dan histeris dalam ruang sidang proposal. Ia tak sadarkan diri sehingga digotong keluar.
“Ayah, mengapa engkau pergi secepat ini?” Sabina menangis sambil mengusap-usap kepala ayanya yang sudah menjadi jenazah.
“Tuhan lebih mencintai Ayah. Semoga ia menjadi pendoa bagi kita.” Kata ibunya menghibur Sabina serta adiknya.
Kini genap empat puluh hari meninggalnya ayah. Sabina melakukan revisi proposal. Syukurlah disetujui untuk boleh melakukan penelitian.
“Jangan mundur, Sabina!” Kata mendiang ayahnya melalui mimpi di suatu malam. Sabina merasa diteguhkan meskipun ayahnya tak lagi bersamanya secara fisik.
“Sabina, bab keempat harus direvisi secara besar-besaran. Sedangkan bab kelima belum tampak hakikatnya.” Begitulah dosen mengingatkannya secara serius.
“Tetaplah berjuang, Sabina! Kamu pasti bisa.” Tekadnya dalam batin. Ibunya pun terus memberikan peneguhan.
Perjuangan Sabina tak bertepuk sebelah tangan. Meskipun menghadapi kesulitan, apalagi kehancuran jiwa karena kepergian ayahnya, ia tak pernah putus asa dalam perjuangannya. Ia pun menuntaskan skripsi pada waktunya.
“Sabina Okomanop, Sarjana Teknik. Lulus dengan predikat Sangat Memuaskan.” Suara itu membahana dari dalam ruangan wisuda, diiringi sorak-sorai dan tepukan meriah.
Inilah puncak dari seluruh perjuangan Sabina. Apa yang menjadi kerikil, onak dan duri, kini ditebus secara paripurna.
“Sabina, ternyata kamu mampu menyaingi teman-teman lain.” Kata ibunya sembari meneteskan air mata kebahagiaan.
“Puji Tuhan! Pantaslah menuai apa yang ditabur. Namun, tak berhenti di sini.” Sabina yakin, sukses saat ini baru tahap awal kehidupan. Masih ada tahap lain yang lebih menantang menuju sukses.
Cerita yang sangat menarik dan inspiratif bagi kalangan mahasiswa yang sedang berjuang mendapatkan gelar
Luar biasa cerpennya. Sangat menginspirasi dan memotivasi.
Luar biasa penyair. Mengalir, penuh dinamika untuk memainkan perasaan pembaca serta menggugah untuk tidak menyerah bila berhadapan dengan tantangan seberat apapun. Proficiat pak 🙏