Penulis : Zaki Muhammad
Tuhan, Aku manusia yang tidak mempunyai kebaikan apapun. Kebaikan yang pernah aku lakukan dikit demi sedikit terkikis oleh keburukan yang sengaja maupun tidak sengaja kulakukan. Kebaikan yang telah aku tanam kini, telah hilang musnah berganti keburukan.
Tuhan, aku ingin membahagiakan kedua orangtuaku. Aku ingin di setiap aku pulang ke desa, pulang menghadap wajah beliau, aku ingin sekali melihat mereka tersenyum lepas tanpa ada beban di wajahnya. Jerih payah yang ditorehkan kedua orangtuaku, kini menghantarkan pada titik dimana aku beranjak ke dalam kedewasaanku.
Di usia yang semakin bertambah dan berkurangnya masa aktif kehidupan, kini mau tidak mau, siapa maupun tidak siap kehidupan terus berjalan, usia terus bertambah mengharuskanku terus berpikir lebih dewasa. Mengenal lebih dalam siapa diriku sebenarnya. Sudahkah pantas aku menerima usia ke 23 ini? lantas apa yang telah kuperbuat selama ini. jasa apa yang telah kuberikan pada kedua orangtuaku.
Aku hanya sebatang pepohonan yang mulai tumbuh dan mekar di tengah reruntuhan bunga di sampingku. Aku tahu semakin bertambah usiaku mengharuskanku untuk semakin mengerti mana kebutuhan dan mana keinginan. Kedua ini menjadi salah satu faktor untuk mengukur seberapa besar tingkat kedewasaan seseorang. Karena bagiku memilih kebutuhan atau keinginan masih sulit bagiku untuk menerima salah satu darinya.
Tuhan melalui surat ini yang kutulis di pagi ini, aku dengan sepenuh-penuhnya ingin memeluk mereka mengatakan maaf bapak, maaf ibu, putramu masih belum bisa membanggakan, putramu sering melalaikan kewajiban kepadaNYA, maafkan putramu tidak mau menerima pengakuan dari orang lain, maaf putramu sangat egois dengan apa yang menjadi keinginannya. Maaf bapak, maaf ibu aku hanya ingin di usiaku yang ke 23 ini aku ingin mengatakan bahwa aku akan membahagiakanmu. Dengan berkurangnya usiaku ini aku ingin merelakan membanting tulang demi nama baik keluarga nenek dan kakek. Aku sangat rela tubuhku kedinginan menggigil di tengah hujan, membiarkan tubuhku terbakar oleh panasnya api di tengah hutan, dan membiarkan tubuhku termakan binatang buas asalkan aku bisa membuatmu bahagia. Aku ingin sekali tuhan.
Ingin sekali memberontak, entah kepada siapa lagi akan memberontak. Ingin sekali aku meluapkan rasa entah kecewa, sedih, kesal, atau rasa yang lain. yang pasti aku kini berada dalam lembah kenistaan yang teramat dalam, dalam sekali. Berada dalam lingkungan keluarga kecil, bertempat di desa kecil dengan persawahan yang indah. Dimana aku dulu sangat patuh padanya. Aku sangat takut, bila aku melanggar aturannya. Dimana ketika harus pulang sore dan lantas mengumandangkan adzan di musholla kecil samping rumahku. dimana saat aku ingin sekali merasakan asyiknya bermain bersama teman-teman merasakan air hujan yang datang di sore itu, akan tetapi mereka melarangnya, mereka tidak memperbolehkannya, “nak jangan kau membasahi tubuhmu dengan air hujan, basahilah tubuhmu dengan air wudhu, pergunakan air wudhu untuk membersihkan seluruh badanmu nakk, sudah kau ganti pakaianmu yang basah itu, cepat sebelum bapakmu pulang dari kebun nak” begitu nasihat ibu kepadaku di waktu kecil.
Detik demi detik, jam demi jam, hari berganti hari, manusia akan terus menjalani resolansinya sebagai makhluk yang tumbuh dan berkembang mengalami yang namanya kematian. Aku adalah seorang anak yang di tumbuh kembang dari lingkungan yang biasa-biasa saja. Ketika orangtua berkata “nak, jadilah orang hebat, jadikanlah hidupmu yang sekali ini untuk memberikan yang terbaik bagi orang di sekitarmu, nakk gapailah keinginanmu capailah, raihlah keinginanmu itu dengan kerja keras, karena orang hebat terlahir dari mereka yang mau dan siap kerja keras nak, banggakan kami nak, meskipun bapak/ibukmu tidak memiliki harta yang melimpah jangan kau berkecil hati, karena di luar sana banyak orang yang kurang sandang, pangan, dan papan (pakaian, makan, dan tempat). Nakk pandangilah wajah bapakmu ini, pantaskah bila aku terus bekerja demi mencukupi ibukmu?, adikmu? Dan kau putraku?
Boleh saja nak kau bersenang-senang dengan teman lama maupun teman barumu nanti, tapi ingatlah nak wajah bapakmu lama semakin lama akan mengerut, kekuatan bapak untuk mencukupi kebutuhan keluargamu akan menurun, usia bapak akan berkurang nak. Maka dari itu kamu adalah putra satu-satunya nakkk. Oleh sebab itu jangan kau menjadi pemalas, jadilah anak yang selalu mendoakan bapak dan ibu. jadilah putramu yang dapat dibanggakan nak. Bapak/ibu di sini menunggumu nak, menjemput kesuksesanmu di tanah rantau. Bapak/ibu akan selalu mendoakanmu, memberikan yang terbaik untukmu dan istrimu kelak”. Lantas selesai itu, bapak mendekapku sangat dalam sekali. Inginku menangis saat ini pula.
Teringat dengan nasihat ibu dengan menyuruhku membasahi badanku dengan air wudhu dan nasihat bapak yang begitu dalam makna bagi kehidupanku yang membuat gemetar seluruh badanku hingga sampai ku menulis surat ini. aku tidak sanggup melihat mereka berdua bersedih, melihat mereka menguras tenaga demi aku dan adikku. Rasanya hati ini tidak sanggup menerima mereka. Kesedihan yang teramat dalam aku rasa. Tetesan di dalam kamar terus mengalir sungguh aku tak sanggup tuhan. Harapan mereka sangat tinggi untuk anak-anaknya.
Aku dua bersaudara, aku adalah putra yang pertama, dan adikku yang kini masih mengabdi belajar sekolah dasar di tempat tinggalku. Kami adalah keluarga yang berada dalam suasaan pedesaan yang amat jauh dari keramaian kota. Di setiap malam kami, selalu mengahantarkan sesuap nasi bila tetangga sebelah membutuhkan. Kami saling bertukar cerita di malam hari tepat persis di depan rumah masing-masing secara bergantian.
Malam ini bertempat di rumahku, malam esok berada di rumah tenngga yang pasti tukar cerita di desaku terus berjalan. Dulu ketika setelah menunaikan ibadah shalat isya, kami keluar dari rumah berbaring ke atas memandang langit malam. menikmati kebersamaan bersama keluarga. Dulu, ketika bapak sedang capek setelah ia bekerja menghidupi keluarga, aku dan adikku memijitnya dengan senang hati. Secara bergantian aku dan adikku memijit badannya.
Kedamaian desa yang dulu tertanam tertata rapi kini mulai punah diterjang teknologi yang serba canggih. Kini desaku seperti berubah menjadi kota metropolitan yang setiap malam terdapat pembalap liar, setiap malam menikmati musik di setiap tikungan jalan, bahkan ada seoarang laki-laki yang sedang bermain dengan wanita di waktu malam hari. Mereka sangat menikmati obrolan mereka. Berhura-hura di tengah jalan tanpa memikirkan keselamatan mereka. Entah teknologi saat ini bisa memusnahkan kedamiaan desa kami. Kami sedih akan hal ini. aku dan keluarga sendiri mengerti akan hal itu, oleh sebab itu kami membangun kedamaian itu bersama keluarga kami sendiri.
Bapak/ibu melalui tulisan yang kutulis pagi ini, yang tidak sempat ku membelikan sesuatu yang berharga untukmu. Karena uang sakuku habis tidak tersisa. Bapak/ibu di usiaku yang ke 23 ini, aku ingin mengucapkan maaf putramu belum bisa menjadi anak harapanmu. Antara kebutuhan dan keinginan yang belum bisa kupilih, aku sebagai putramu dengan sebenar-benarnya mengucapkan Maafkan bapak, maafkan ibu. inginku sekali melihatmu bahagia dengan sebenar-benarnya bahagia.
Dear: anak yang merindukan belaian kasih dari bapak dan Ibunya. di tulis surat ini teruntuk beliau bapak & ibu. semoga sehat dan selalu dalam lindungannya.
One Reply to “Maafkan Aku”