Penulis : Endah Widiastuti
Saat dedaunan masih meneteskan embun pagi, dua tahun yang lalu. Burung-burung berkicauan dari pohon satu ke pohon lainya riang gembira berloncatan ke sana ke mari, kupu-kupu menari menghinggapi bunga yang berwarna-warni. Pagi sekali aku sudah bangun, ku bereskan tempat tidurku, ku tata rapi sprei, bantal,guling pandaku warna merah jambu, dan tak lupa kulipat selimut tebalku lalu kusapu kamarku, “rapi deh” gumamku dalam hati.
Bungaku tumbuh tinggi dan mekar dengan indahnya. Bogenvil warna merah menggoda mata, bogenvil warna putih menarik bagi setiap yang melihatnya, mata terpesona, juga bogenvile warna merah muda, woooow memesona pagi itu.Ku pandangi bungaku yang seperti pelangi warna-warni seperti juga hidupku penuh dengan variasi. Senyum mengembang di bibirku, aku langsung menuju ke kamar mandi untuk membersihkan badanku, kusabun tubuhku, usuk……usuk sampai bersih dan kugosok gigiku dengan sensoden, hehhhh…..segarrrr. Kulanjutkan untuk merias diri memersiapkan untuk sekolah. Dengan lembut kusisir rambutku, biasa ku kepang kemudian aku beri jepit rambut karena rambutku panjang jadi agak lama. Saat itu aku baru ingin masuk Sekolah Menengah Pertama. Untuk pertama kalinya, seragamku saja masih putih merah. Pukul enam tepat temanku sudah menghampiriku.
“ Diyas….Diyas……….Diyas!” panggilan kedua temanku dengan kompak.
“Iya sebentar!” jawabku dengan tergesa-gesa.
Tanpa membuang waktu aku segera berlari menghampiri mereka. Kami bertiga berangkat dengan perasaan yang sangat menggebu-nggebu.
Di jalan kami memandangi alam sekitar yang indah, udara yang sejuk, dan langit yang terlihat cerah. Kami sangat menikmatinya.Kami bangga tinggal di desa meskipun bisa dikatakan jauh dari kecanggihan teknologi, kami sangat bahagia karena kami memiliki pemandangan alam yang indah serta udara yang belum dijamah asap kendaraan dan limbah pabrik.
Di desa kami tidak mengenal namanya kemacetan dan tidak pula mendengar bunyi klakson dimana-mana. Belum tentu pemandangan yang sekarang kami rasakan ini bisa kami dapatkan di kota. Kami terus berjalan sambil bersendau gurau dan membayangkan apakah sekolah baru kita lebih menyenangkan atau sebaliknya. Hal ini masih menjadi pertanyaan di benak kami.
Terkadang kita juga berbagi pengalaman entah itu pengalaman bahagia atau duka. Kita juga membicarakan berbagai makanan yang kita sukai. Pokoknya kita saling searing.
“Makanan kesukaanku nasi pecel ditambah daun kemangi dan tempe goreng rasanya mak nyooss!!! Jempol pokoknya.” Kataku.
“Kalau aku paling suka durian.” Celetuk Yus temanku.
Memang kalau dia sedang berhadapan dengan durian dia sudah tidak bisa diajak ngobrol lagi. Mengapa? Karena dia terlalu sibuk dengan durianya. Matanya selalu hijau dengan durian, jika orang lain tergila-gila dengan uang temanku Yus ini tergila-gila dengan durian.
“Durian bagiku adalah segala galanya, ha ha ha”. Suara Yus lantang.
Temanku ini memang sangat lucu , lain halnya dengan Veronika juga temanku. Dia menyukai segala jenis makanan. Kami memberi nama kehormatan kepada Veronika omnivore karena dia pemakan segalanya, haaaaaaaaaaa……………. .
Veronika bisa juga dikatakan rakus. Pernah, disuatu hari aku punya roti dua potong, aku tawarkan padanya, baru saja dua menit aku bilang ehhh……….rotinya sudah ludes. Walaupun begitu kami saling mengerti dan setia kawan , teman seperti inilah yang aku inginkan bukan teman yang suka menjauhiku jika aku memiliki masalah . Aku paling benci dengan teman seperti itu.
Perbincangan yang sangat mengasikkan. Dan tibalah kami di sebuah lapangan yang sepi dan sunyi tanpa aktivitas seorang pun selain kami bertiga yang melintasinya. Kami berjalan dengan santainya, langkah demi langkah , namun tiba-tiba ada suara yang mengagetkan.
“Huk…..huk……….huk………huk…………huk………..huk seekor anjing galak mendekat”.
Kami kaget dengan ganas dan galaknya anjing itu terus menggonggong. Kami ketakutan terus berlari secepat pesawat zet. Berlari dan terus berlari namun anjing itu terus mengejar kami, sehingga sampai kami kehabisan tenaga. Dalam sisa tenaga kami, kami berusaha terus untuk berlari. Keringat membasahi tubuh kami hingga tubuh kami lemas, kami pucat pasi karena takut. Dengan berselimut doa bibir kami selalu berseru kepada Tuhan. Kami lelah berlari . Napasku ngos-ngosan, kami menyerah untuk berlari lagi dan akhirnya kami memutuskan untuk berhenti. Setelah sadar, ternyata kami berhenti tepat di tengah lapangan tanpa gerakan sedikit pun.
Kami sudah berserah kepada Tuhan, terjadilah apa yang Tuhan kehendaki. Dalam kepasrahan kami , anjing itu semakin mendekat. Lunglai tidak berdaya tubuh kami bertiga, lemas bibir terkulai tanpa kata hanya desahan yang dirasa.
Keringat dingin terus mengalir dan anjing pun terus mendekat. “Sssssssssss “. Terlontar dari bibirku. Kami hening dalam kediaman membisu kelu. Kami ndeprok tak mampu untuk berbuat. Anjing itu sangat dekat, lidahnya menjulur keluar dan njenggong sampai memekik telinga. Tubuh kami kether tetap diam dalam ketakutan dan mata kami pun terpejam karena ngeri melihat anjing itu. Sayup-sayup kami mendengar suara.
“Hai, anjing takut dengan lemparan batu !”
Tanpa berpikir panjang kami langsung mencomoti batu di tanah dekat kaki kami dan tanpa rasa ampun kami melempar batu-batu kerikil itu kearah anjing. Dan ternyata benar anjing itu lari terbirit-birit. Legalah hati kami bertiga baru ingat siapa ya yang menolong tadi, kami ingin cari tahu. Akhirnya ternyata seorang perempuan bersepeda di pinggir jalan yang melintasi jalan seputar lapangan Puhpelem. Kami lari mendekat untuk berucap terima kasih. Tanpa berpikir panjang kami pun melanjutkan perjalanan dengan perasaan lega.
Memang jarak tempuh antara rumah dengan sekolah lumayan jauh, tapi tidak terasa kami sudah sampai di SMPN 2 Puhpelem. Ternyata sekolahku yang baru lebih menyenangkan. Kami memiliki lebih banyak teman. Aku,Yustina, dan Veronika memiliki kelas yang berbeda , tetapi kami tetap menjaga tali pertemanan. Aku cukup bahagia di sini, walaupun masih ada juga teman tebu alias teman yang habis manis sepah dibuang da nada juga teman jalangkung yaitu teman yang datang tidak diundang dan pulang tidak diantar, selain itu ada juga teman yang jika aku punya masalah atau terkena musibah bukanya membantu atau menghibur tetapi malah menjauhi dan tidak menganggap aku sebagai teman.
Aku tahu mereka menjauhiku agar aku bisa tenang, tapi dengan cara mereka menjauhiku, aku malah merasa semakin bertambah saja masalahku. Tapi biarkan sajalah mereka toh merasa juga akan tahu akibatnya. Itulah pengalamanku .