Damai Saja

Penulis : Rafi Ahmad Nur

“Hai Vani, lama tak jumpa,” suara itu aku mengenalnya. Aku menoleh ke belakang terdiam saat melihat wajahnya.

Aku tak sanggup berkata-kata untuk menjawab sapaan darinya, seorang pria yang pernah berada di masa laluku, pria berdarah Melayu ini memang benar-benar ada di hadapanku sekarang.

“Hai” jawabku lirih dan kebingungan.

Dengan pelan aku menundukkan kepalaku agar tak melihat pria di hadapanku ini, tak sanggup batinku untuk tak bergejolak. Marah, benci, sedih, senang, dan kecewa menjadi satu untuk saat ini, sudah lima tahun tak berjumpa setelah kejadian itu. Dimana saat itu kami satu kelas pada zaman SMA kami, tiga tahun selalu satu kelas dengannya menciptakan adanya hubungan spesial diantara kami sejak kami kelas dua hingga kelas tiga.

Hanya setahun memang, namun banyak kenangan yang sangat berharga dalam hubungan kami pada saat itu. Berpisah secara tidak baik membuatku terus mengingatnya hingga saat ini walau sudah lima tahun lamanya. Setelah dengannya aku tak pernah menjalin hubungan secara intens dengan laki-laki lain, aku masih trauma dan takut akan kejadian mengerikan itu terulang lagi kepadaku.

“Apa kabar kau Van? tak sangka kita berjumpa kat sini,” tanya pria itu dengan senyumannya, ku akui salah satu alasanku jatuh cinta padanya adalah melihat senyumannya yang menawan itu.
“Alhamdulillah aku baik,” jawabku dengan senyuman canggung, entah kenapa rasa benci dan sakit hatiku seperti memudar saat ini.

“Van, kau pindah ke jawa pas kuliah ya?” tanya pria itu dengan mengerutkan alisnya. Aku mendongak ke arahnya yang tinggi itu, “iya Ris” jawabku dengan senyuman canggung,
“Cepat benar kau pindah ke Jawa, tak kasih kabar pulak tu,” aku memang pindah ke pulau Jawa saat kuliah, karena selain aku memang berasal dari Jawa, aku lolos dalam seleksi masuk PTN pada saat itu. Setelah lima tahun aku terus memikirkannya rasanya lega melihatnya baik-baik saja saat ini. Walau aku merasa sedikit ada yang mengganjal di hati.

“Iya Ris, dulu habis pengumuman lolos seleksi masuk kuliah aku langsung pindah ke Semarang,” jawabku yang sudah mulai merespon pertanyaannya. Kali ini aku akan memutuskan apa yang sudah seharusnya terjadi, yang baru aku bisa putuskan sekarang setelah sekian lama.

“Van cari tempat duduk dulu yok, aku nak cakap sesuatu ngan kau.”
Aku menjadi linglung dan menoleh ke segala arah untuk mencari tempat duduk atau apa saja yang bisa kami duduki. Setelah beberapa detik, mataku tertuju pada sebuah kursi usang di bawah pohon besar yang mungkin sudah berusia puluhan tahun atau mungkin ratusan tahun, entahlah.

“Duduk di sana aja,” ucapku sembari menunjuk dengan jempolku ke arah kursi usang itu. Pria di depanku menganggukkan kepalanya dan mulai berjalan ke arah kursi usang itu.

Sebelum duduk di kursi, Ia membersihkan kursi yang akan kutempati menggunakan tangannya, aku terdiam, dia memang seperti itu terhadap yang lainnya, karena dia orang yang baik. Dan bodohnya aku mengganggap bahwa akulah satu-satunya perempuan yang ia perlakukan seperti itu.

Setelah kami duduk Bersama, tak satupun dari kami yang memulai percakapan, tak mungkin aku memulai ini, aku adalah orang yang menjunjung gengsi tinggi, dan dia yang pertama mengajak untuk duduk dan berbicara.

“Van, aku nak selesaikan masalah yang dulu,” Dia terlihat gugup untuk melanjutkan. Dan aku yang sekarang sangat penasaran dengan lanjutannya, aku ingin mendengarkan apa yang sebenarnya ada di pikirannya saat itu, apa yang dia rasakan, dan apa yang dia alami setelah kejadian lima tahun yang lalu, apakah dia tetap hidup dengan tenang setelah melakukan hal itu kepadaku?
“Van sebenarnye aku dulu kaya gitu karena terpaksa, kalau kau jadi aku kau pasti kaya gitu Van,” ucap pria di sebelahku ini.
Rasanya aku ingin marah, tak mau rasanya mendengarkan apa yang sebenarnya dia alami dulu, egois memang.

“Aku kaya gitu karena kasihan sama dia Van, kau tak mau dengar penjelasan dari aku, semua salah paham.”

Aku terkekeh, aku tahu dahulu dia bersikap seperti itu dengan alasan bahwa dia kasihan pada perempuan itu, seorang perempuan yang membuat hubunganku dengan pria di dekatku ini menjadi berakhir secara tidak baik, bahkan membuatku menjadi membenci orang yang sangat aku cintai dulu. Aku akan memaafkan apapun kesalahannya kecuali menyangkut denga perempuan lain, sakit hati teramat dalam sampai aku berharap hidup pria di sebelahku menjadi buruk, dan aku akui bahwa aku juga buruk, tak seharusnya aku membenci seseorang sampai mendoakannya seperti itu, tapi semua itu aku lakukan karena sakit hati yang teramat dalam. Tak berselang lama aku mendengar isak tangis pria di sebelahku, aku terkejut melihatnya.

“Van, aku nak minta maaf atas semua kesalahanku dulu, andai dulu aku bisa jaga jarak dan batasan dari dia, takkan hubungan kita macam gini, kenapa kau tak mau dengar penjelasanku dulu?” ucapnya dengan menyeka air mata yang mengalir, dan aku ikut terbawa suasana menjadi teringat kejadian masa itu yang sekarang membuat mataku berkaca-kaca.

“Ris, aku udah berkali-kali kasih kau peringatan tapi kau tetap langgar Ris, gimane aku tak sakit hati teramat dalam kalau tebiat kau tuh tak berubah?” jawabku dengan marah. Lagi-lagi teringat masa lalu yang menyakitkan itu.
“Aku minta maaf Van, aku salah, tolong maafkan aku, aku tahu kau masih benci sama aku, hidup aku tak tenang Van, aku dihantui rasa bersalah dari dulu,” jawab pria di sebelahku.

Aku tak tahu harus membalas apa perkataannya, aku juga dihantui masa lalu, membuatku percaya laki-laki setia dan tulus itu tak ada, termasuk ayahku. Dan aku harus memutuskan sesuatu agar aku bisa damai dengan masa lalu.

“Aku cuman nak damai sama kau Van, hidup aku tak tenang selame ini, selalu banyak masalah yang aku hadapi Van,” ucap pria itu dengan suara lemah. Apa dia pikir selama ini hanya hidupnya saja yang susah?

“Lalu kau pikir hidup kau yang paling susah? Kau pikir aku nyaman dengan hidup aku setelah kejadian itu Ris?” jawabku dengan nada sedikit tinggi. “jangan pernah kau merase paling sakit, bahkan aku tau kau dulu bilang ke kawan kau kalau aku tak pernah pengertian dengan kau.”

Tiba-tiba air mataku jatuh setelah mengatakan itu, rasanya puas saat aku mengatakan hal itu, walau sebenarnya banyak yang ingin aku luapkan kepadanya.

“Maaf Van, aku benar-benar minta maaf ke kau, aku tak tau harus ape biar kau maafkan aku.”
Tangisku hampir pecah, namun seketika aku berpikir, untuk apa aku menangisi yang sudah lalu?

“Van, mari saling memaafkan, aku nak tenangkan hati Van, aku nak damai, aku nak buka lembaran baru, tapi syaratnye kau harus maafkan aku Van,” ucap pria itu dengan nada memelas.

Kalau dipikir lagi, memang sudah seharusnya kita berdamai sejak dulu. Sembuh tak harus mencari orang baru dahulu kan?, dan aku adalah orang itu.

Aku menganggukkan kepalaku, dia terkejut “benar Van?”, dan aku hanya diam meresponnya.

Aku sudah lelah dengan semua masalah ini yang sudah menghantuiku sejak dulu. Biar saja semua berjalan sesuai kehendakNya, aku yakin ada hikmah dari semua ini, Allah tahu yang terbaik bagiku. Jikalau mereka bertanya seberapa sakitnya aku saat itu akan kujawab dengan ringkas, mereka hanya ingin tahu bukan peduli, buktinya mereka tak bisa memberi saran penyelesaian yang sesuai aku inginkan. Aku sudah berusaha memaafkannya namun tak bisa lupa dengan apa yang pernah pria ini lakukan padaku dahulu. Aku harus damai dengan masa lalu agar bisa tenang dalam menjalani hidupku yang masih panjang ini.

Aku berhak mendapat seseorang yang tulus padaku.

Aku yakin akan mendapatkannya suatu saat nanti, namun bukan sekarang, saatnya untuk mengikhlaskan yang lalu, itu adalah kunci hidup yang membutuhkan banyak waktu tapi akan aku jalani dahulu agar benar sembuh.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *