Penulis : Felize Estherlita
Mendadak Devi terbangun. Napasnya tak teratur, dadanya sesak. Rupanya ia mimpi Dendy lagi. Mimpi kali ini murid kelas dua SMA itu hendak meloncat dari gedung gereja, seusai kebaktian bersama. Mengapa? Karena anak itu meminta Devi menjadi kekasihnya dan tentu saja Devi tolak. Meskipun remaja belasan tahun itu memohon-mohon padanya, ketika ia sedang membereskan pernak-pernik yang dipakai kebaktian sementara bapak ibu guru lain menyertai sekaligus mengawasi murid-murid yang kembali ke sekolah. Letak gedung gereja itu di belakang gedung sekolah.
Mimpi yang aneh, pikir Devi heran sekaligus bingung. Diraihnya segelas air putih yang terletak di meja kecil sebelah tempat tidurnya. Sudah rutin ia menyiapkan segelas air putih sebelum tidur. Bila terbangun dan kehausan, tinggal minum saja.
Dendy adalah salah seorang murid di sekolah tempat Devi mengajar. Orang tuanya sangat sibuk mengurus kerajaan bisnis keluarga sehingga ia dibiarkan hidup sendiri di rumah yang besar dengan tiga orang pembantu, seorang satpam dan seorang tukang kebun. Secara materi anak itu memang lebih dari cukup. Tapi secara emosi ? Begitu kosong dan sepi.
Devi menguap . Dilihatnya jam dinding. Tepat pukul 24.00. Sambil merebahkan diri lagi, bermaksud melanjutnya tidurnya yang tertunda, Devi terus merenung. Mana bisa Dendy memintanya jadi kekasih? Umurnya sudah dua puluh tujuh tahun sedangkan anak itu baru tujuh belas. Lagipula, ia telah berencana menikah dengan tunangannya. Seorang dokter spesialis anak bernama Koeswara. Mereka saling cinta dan percaya pada masa depan berdua.
Devi mengaitkannya dengan dunia nyata. Belakangan ini muncul huru hara di sekolah soal Dendy. Dua bulan belum genap duduk di kelas dua, anak kesepian itu membuat banyak guru murka. Ada yang mengeluh, ia tukang buat onar di kelas. Ada yang mengatakan, sikap dan perilakunya kasar dan tidak sopan. Ada yang memekik, berani benar menantang guru! Bahkan Gracia, wali kelas anak itu, sudah angkat tangan alias menyerah mengurusnya.
Mendengar semua itu, Devi cukup prihatin. Waktu di kelas satu Dendy tidak begitu. Ia masih bisa dikendalikan. Paling tidak olehnya sebagai wali kelas dan guru bahasa Indonesianya. Prestasi akademik Dendy juga di atas rata-rata. Oleh karena itu di kelas dua ini ia bisa masuk kelas prestasi. Kelas yang berisi murid-murid dengan peringkat sepuluh besar. Lalu mengapa guru-guru dibuatnya pusing, seolah ada sederet bintang yang berputar di atas kepala?
Demi Tuhan, muncul keinginan di hati Devi mengajak Dendy bicara. Siapa tahu anak tampan dan jangkung itu masih mau mendengar kata-katanya. Tapi rasa bimbang selalu mengurungkan niatnya itu. Ia tak mau dianggap sok pahlawan oleh guru lain. Guru piket, guru BK, wali kelas dan bahkan kepala sekolah sudah berusaha mengurusnya. Masa ia mau ikut campur?
“Di sekolah ini, cuma Pak Lim yang mengerti saya. Cuma Pak Lim!”
Itu seruan Dendy di ruang BK tadi pagi. Waktu “diadili” Gracia, diminta menandatangani surat pernyataan. Isi surat itu kurang lebih seperti ini. Jika dalam sebulan Dendy tak berubah juga, maka ia harus sanggup dikeluarkan dari sekolah. Devi juga dengar. Waktu itu ia sedang piket di UKS, bersebelahan persis dengan ruang BK.
Dendy, Dendy. Kau ini kenapa, Nak? keluh Devi seraya menguap. Kedua matanya susah dipejamkan. Ia berencana bicara dengan Pak Lim, guru bahasa Mandarin yang terkenal pintar meramal dan menyembuhkan banyak penyakit. “Suhu Lim” sebut masyarakat sekitar. Baru dua bulan mengajar di sekolah itu, telah banyak guru-guru dan bahkan wali murid yang ditolongnya agar bebas dari segala masalah dan sakit penyakit. Dengan gaya bercanda guru muda yang masih ‘ting-ting’ minta diramal jodohnya. Bercanda, iseng namun berharap juga.
Tapi jelas bukan karena Pak Lim “orang pintar” Devi hendak bertemu muka. Dia samasekali tidak tertarik dengan dunia ramal-meramal. Ia mau menemui Pak Lim karena Dendy bilang , cuma guru mandarin itu yang mengerti dirinya. Devi bertekad mencari tahu, mengapa anak itu seolah tak terkendali oleh siapa pun. Ia sungguh ingin menolongnya. Ia tak rela Dendy putus sekolah karena sesungguhnya anak itu sangat pintar dan cerdas. Perasaannya juga halus. Ia pun amat yakin Dendy tak seburuk yang dibicarakan teman-temannya.
***
Dia sudah lupa padaku
Karena jarak dan waktu
Senyum yang biasa kulihat entah kemana
Bola matanya yang mengerjap sergap
Semua bagai kabut yang bergerak menjauh
Aku menggigil dalam rindu
Kusumpahi takdirku dan takdirnya
Karena aku seorang putra dan dia wanita yang menyebutku “Nak”!
Andai saja aku prianya dan dia perempuanku…
“Bu Devi tahu , siapa wanita yang dimaksud Dendy dalam puisinya itu?” tanya Pak Lim yang menunjukkan sebuah puisi padanya. Puisi itu tertulis di halaman belakang buku catatan bahasa mandarin milik Dendy.
Devi menggeleng ragu. Disodorkannya kembali buku itu pada Pak Lim.
“Setahun lalu, Ibu mengajar Dendy, bukan? Dan tahun ini tidak?” tanya Pak Lim dengan tatapan yang dalam, persis di kedua bola matanya.
Devi mengangguk lambat-lambat dan menghindari mata Pak Lim.
“Wanita dalam puisinya itu… Anda, Bu Devi, ” ujar Pak Lim dengan nada berbisik. Rupanya ia tidak ingin pembicaraan mereka didengar guru lain. Mereka sedang tidak mengajar alias jam kosong. Dua guru sedang sibuk di meja masing-masing, koreksi ulangan murid-murid. Tapi siapa tahu angin memaksa mereka ikut dengar pembicaraan kedua guru itu?
Dahi Devi berlipat. “Ia …mengatakannya pada Pak Lim?” selidiknya dan dijawab dengan gelengan kepala.
Belum sempat ia bertanya, darimana Pak Liem bisa menyimpulkan hal itu, sang suhu menguraikan cerita yang membuatnya semakin tak percaya.
“Dalam penglihatan saya, di kehidupan yang lalu Anda dengan anak itu adalah sepasang kekasih. Dahulu, Anda dengan dia saling mencintai tapi ditentang keras oleh orang tua Dendy. Anda hanyalah putri petani miskin sedangkan Dendy adalah anak tuan tanah yang kaya raya. Ayah Anda bekerja di perkebunan ayahnya.”
Meskipun tak percaya, Devi terus mendengarkan. Ruang guru telah sepi, mereka bisa berbicara dengan leluasa. Hanya ada seorang petugas klining servis yang lalu lalang membersihkan ruangan. Perilakunya jelas terlihat, tak peduli dengan percakapan mereka.
“Suatu hari, Anda sekeluarga diracun oleh ayahnya. Ia sangat marah, kecewa dan sedih berkepanjangan. Ia lari ke hutan dan bertapa sampai akhir hidupnya. Permohonanya cuma satu, di kehidupan yang akan datang kalian bisa bersatu… “Pak Lim meneruskan bicaranya dengan serius.
Tiba-tiba wajah Pak Lim memucat. Sebuah energi, entah dari mana, seperti menghantam tubuhnya dengan kuat. Muka manisnya pucat pasi.
Devi jadi panik. “Pak… Pak Lim baik-baik saja?”
Pria paruh baya itu memberi isyarat dengan lambaian tangan, bahwa ia tidak apa-apa. Diteguknya air mineral dalam botol yang selalu tersedia di pojok kiri mejanya. Lalu matanya terpejam. Diaturnya napas, seolah sedang bermeditasi.
“Sebenarnya, ini rahasia kehidupan yang tak boleh diceritakan pada siapa pun,” Pak Lim bicara kembali, “Tapi, saya kasihan pada Dendy. Dia selalu murung, sedih, dan gelisah. Sesekali saya hibur dan kasih nasihat. Sedih saya karena hanya itu yang bisa saya kerjakan. Tentang masalahnya cuma Bu Devi yang bisa tolong.”
“Mak…sud Bapak?”
“Sudah takdir, Bu. Tangisan dan jerit hatinya di kehidupan yang dahulu, cuma bisa dihentikan oleh Ibu. Doanya telah terkabul meskipun harus bertemu dengan Anda dalam situasi yang tidak mudah.”
Devi menggeleng. “Maaf, Pak. Saya… saya tidak percaya.”
Pak Lim tersenyum. “Tidak apa-apa, Bu,” suaranya terdengar sangat sabar.
Devi merasa tak enak hati. Orang biasa saja tak suka bila perkataannya diragukan. Apalagi seorang seperti Pak Lim.
“Saya… saya sedang berusaha membantunya, pada porsi antara guru dengan siswa. Tak kurang dan tak lebih, Pak Lim, ” sambung Devi, berusaha menetralkan suasana.
“Saya mengerti,” sahut pria berumur itu dengan nada bijak. “Saya tahu, Anda adalah seorang wanita yang jujur dan setia, seorang guru yang penuh kasih dan empati terhadap murid-muridnya. Termasuk terhadap Dendy. Tapi, Bu Devi…” kalimat Pak Lim terputus sebentar, “ Ngomong-ngomong, benarkah Anda dengan anak itu punya tanda lahir yang sama, yaitu tahi lalat di bahu kiri masing-masing?”
Devi terkejut setengah mati. “Da…darimana Pak Lim tahu?”
“Punya Dendy sebesar biji kopi, sedang milik Anda sebesar biji kacang hijau.”
Devi membuang napas berat. Mana mungkin? Mana mungkin ia tahu hingga hal tersembunyi seperti ini? Dendy memang memiliki tanda lahir seperti yang digambarkannya. Waktu itu sempat terlihat olehku ketika sedang bertengkar dengan teman sekelasnya, kerah bajunya terkoyak dan terlihatlah tanda lahir itu. Sedangkan tanda lahirku memang sebesar biji kacang hijau dan terletak di bahu sebelah kiri!
***
Ruang guru gempar. Terkabar Dendy mengancam akan menusuk siapa saja dengan pisau lipat yang dibawanya dari rumah, bila ada yang berani mendekat padanya. Anak itu selesai menghajar Dionisius yang berani mengata-ngatainya bodoh tapi sok pintar. Mereka sedang memperdebatkan hasil akhir dari sebuah soal hitungan dalam pelajaran Fisika.
“Apa kita perlu lapor polisi?” usul Sisil sang guru fisika gemetaran. “Semua guru pada sibuk mengajar, bagaimana ini?”
“Panggil satpam saja!” seru Gracia yang sedang piket. Mereka bertiga seumuran dan berteman sangat baik. Mereka sering menyebut nama saja tanpa tambahan “bu”.
“Jangan!” cegah Devi. “Biar kucoba bicara dengan Dendy. Nanti jika gagal, baru kita panggil satpam. Syukur-syukur kepsek sudah pulang dari diknas.”
“Tapi, Vi…” Gracia ragu, sekaligus keberatan.
“Ayolah, Gras, ” Devi memegang lengan Gracia. “Biar kucoba sekali saja. Siapa tahu anak itu masih mau mendengarkan kata-kataku.”
Sisil mengangguk ketika Gracia meminta persetujuannya, lewat pandangan mata.
“Devi pernah jadi wali kelasnya juga,” kata Sisil berusaha meyakinkan. “Siapa tahu Dendy memang masih mau mendengarkan nasihatnya. ”
“Ya, tapi hati-hati, Vi!” pesan Gracia dan dijawab anggukan oleh Devi.
Tiba di kelas Dendy, Devi tegang juga. Tampak olehnya anak jangkung itu duduk sendirian, di bangku paling belakang. Kakinya yang panjang berselonjor di dua bangku, mukanya setengah tertutup topi berlogo sekolah. Pisau lipat tergeletak di mejanya.
Sementara itu teman-temannya pada berpencar menjauh. Siswi putri bergerombol dekat papan tulis, siswa putra ada yang di depan kelas, ada yang berkerumun di salah satu bangku temannya. Mereka sedikit lega melihat Devi datang. Dionisius sang korban sudah dipapah ke UKS karena hidungnya berdarah.
“Jangan mendekat!” ancam Dendy begitu Devi menuju tempat duduknya. Diraihnya pisau lipat seolah sebagai sinyal peringatan.
Meskipun gentar, Devi masih mampu bersuara. “Terhadap saya, apa kamu juga mau memukul, Den? Atau kamu malah mau tusuk ibu?”
Dendy berseru garang, “Ibu jangan ikut campur masalah saya! Saya benci pada semua orang!”
“Termasuk pada saya… yang sangat peduli sama kamu? Yang akan memohon pada kepala sekolah supaya masalah ini tidak sampai membuatmu dikeluarkan?”
Dendy menatap Devi dengan curiga. “Apa maksud Ibu? Sudah pasti saya harus keluar. Saya telah menandatangani surat perjanjian.”
“Kecuali ada yang menjamin kamu,” bujuk Devi, “dan orang itu adalah saya.”
Dendy terdiam. Kesempatan bagi Devi untuk menghampiri anak itu. Menghampiri tempat duduk sekaligus hatinya.
“Dendy, dengarkan saya,” kata Devi lembut. Digenggamnya jemari anak itu tanpa takut, padahal tangan anak itu masih membawa senjatanya. “Saya akan buat perjanjian baru dengan Kepala Sekolah, “janji Devi serius, “Isinya supaya kamu diberi kesempatan sekali lagi. Jika terbukti kamu memang sudah tidak bisa diurus, saya menyerah dan bersedia mundur jadi guru.”
Dendy memandang guru pujaannya.
“Kenapa… Ibu…baik sekali pada saya?” air mata Dendy nyaris keluar tapi ditahannya sekuat tenaga.
“Karena saya percaya, pada dasarnya kamu anak baik dan pintar. Tak boleh putus sekolah begitu saja, ” jelas Devi serius dan seadanya. Sebab sekalipun secara materi dengan mudah Dendy bisa pindah ke sekolah lain, belum tentu ada sekolah yang mau menerimanya karena membaca catatan buruk tentang dirinya.
Kali ini, Dendy tak sanggup lagi menahan air matanya. Ia menangis walaupun tanpa suara.
“Jangan suka menyelesaikan masalah dengan emosi begini, ya,” perlahan Devi mengambil pisau lipat dari tangan Dendy. “Di kelas satu, kamu tidak seperti ini. Memang keras kepala dan gampang emosi, tapi tetap pintar dan terkendali.”
Dendy menunduk. Besar hatinya dikatakan demikian oleh guru pujaannya. Guru yang membuatnya rindu berkepanjangan. Guru yang membuatnya gelisah siang dan malam.
“Kita ke BK saja, yuk!” ajak Devi, begitu mereka berdiri digandengnya Dendy. “Sebentar lagi bel ganti pelajaran, daripada terus jadi tontonan teman-teman?”
Dendy menurut. Seperti anak ayam yang mengikuti induknya. Tapi tubuhnya lebih besar dan lebih jangkung dari Devi yang mungil. Meskipun begitu, cuma si mungil itu juga yang bisa meredakan emosinya yang membara.
Tetapi , kisah mereka di sekolah itu… belum usai!
***
“Bu Devi.”
“Saya, Pak Lim?”
Pak Liem duduk di depan meja Devi. Hari itu pembagian raport semester ganjil. Tersiar di mana-mana nilai terbaik jurusan IPA dicetak oleh Dendy Ramadhan Wibawanto yang sempat diskros seminggu karena peristiwa pemukulannya terhadap Dionisius. Guru-guru dan kepala sekolah dibuat angkat jempol karena perilaku anak itu pun berubah. Sopan, tidak kasar dan tidak ada acara hantam jotos lagi. Sinar mukanya juga jauh dari segala macam bentuk kesedihan. Otomatis bertambah tampan. Teman-teman cewek suka dekat-dekat padanya. Kata mereka, Dendy mirip aktor Adipati Dolken yang ganteng itu.
“Anda telah menyelamatkan anak itu, Bu Devi” ujar Pak Lim tanpa was-was ada yang perhatikan. Guru-guru lain pada sibuk dengan urusan raport masing-masing. Lagipula, tak ada yang perlu dirahasiakan. Semua juga tahu bahwa Devi penjamin anak itu.
“Mana bisa saya membiarkan murid terperosok, Pak? Sementara saya tahu bahwa saya bisa menolongnya, ?” tanggap Devi setengah berbisik.
Pak Lim mengangguk-angguk dan tersenyum. “Saya tahu itu. Saya tahu.”
Percakapan terhenti. Devi minta ijin bicara dengan orang yang menghubungi HP-nya. Pak Lim pun menyilakan. Tiba-tiba raut wajah beliau berubah warna. Barusan terlihat gembira dan berseri, detik Devi mengatakan “Hallo” jadi muram dan sangat bersedih. Hanya dengan anggukan ditinggalkannya Devi.
Apa dia juga tahu kalau tunanganku sedang terbaring lemah di ICU saat ini? batin Devi gelisah. Ia telah menutup pembicaraannya dengan Hesti, adik Koeswara satu-satunya. Tadi air muka Pak Lim berubah warna dan rona. Jangan-jangan… Jangan-jangan dia tahu hal yang lain…
Devi menggeleng berkali-kali. Ia merasa ngeri membayangkan kekhawatirannya sendiri. Air mata yang ditahannya meleleh juga. Perasaannya sungguh tidak nyaman, Tidak, Tuhan. Jangan ambil Koeswara dari sisiku…pinta Devi dalam hati.
Hesti mengabarkan, Koeswara mendapat kecelakaan berat. Kakak tunggalnya itu terburu-buru ke rumah pasiennya yang butuh pertolongan darurat. Pasien itu seorang anak berusia lima tahun, lemah jantung dan nyaris meninggal.
Saat berita naas itu diterima Devi, kondisi Koeswara sedang di ambang habis napas…
Ditunggu kelanjutannya 🙏🙏🙏
Sip, endingnya dibuat menggantung.
Oke, judulnya singkat tapi mengandung tanda tanya besar
Bagus, ceritanya unik.
Ceritanya bagus, ditunggu kelanjutannya
Ceritanya seru
Alurnya seru
Alurnya tidak mudah di tebak jadi seru bacanya
cerita nya cukup bagus, unik tentu nya membuat saya kagum kembangkan lagi karya mu bu
menurut aku sih ini cerita nya seru trus ada manfaat nya buat pengalaman , keren deh pokok ny 👍🏻