Penulis : Owi Ahmad
Gedoran bertubi-tubi dari pintu kontrakan berhasil membangunkan didi dari mimpinya. Masih dalam kesadaran yang belum pulih, hanya mata yang terbuka, dan sebentar… apa yang baru saja ia dengar? Tak lama kemudian gedoran itu kembali terdengar jelas, kali ini bahkan lebih keras dari sebelumnya dibarengi teriakan seorang laki-laki.
“Mas..!! Maaaassss..!!”
Sepertinya didi kenal dengan suaranya.
“Mba, ini ada orangnya gak?”
Aduh.. itu pasti dia. Alasan apa lagi yang harus aku katakan? Gawat.
Ketakutan dan Kebingungan bercampur perasaan aneh tiba-tiba melanda didi. Beberapa hari sebelumnya dia sudah mencoba mencari ke mana-mana tapi tetap gagal, didi belum juga menemukan pinjaman.
Tak lama setelah memutar otak, dia memberanikan diri beranjak ke pintu yang sedari tadi berisik karena suara gedoran. Walau tak yakin, pintu kontrakan dibukanya pelan-pelan. Didi sadar saat itu sedang memikul kesalahan yang dibuatnya sendiri, namun dia berusaha untuk tetap tenang. Kini dirinya sudah berada persis di depan lelaki tersebut.
“Kontrakan mau dibayar kapan mas? sudah tanggal berapa sekarang?” Tanya bapak penjaga kontrakan seraya membuka-buka lembaran kwitansi.
“Duuhh… iya pak… maaf… kalo sekarang belum ada pak, soalnya kemarin ada keperluan dadakan, besok atau lusa kalo sudah ada pasti saya anterin ke rumah bapak.” Penuh keraguan didi mencoba meyakinkan lelaki tua itu dengan jawaban yang asal, dia tak yakin akan mendapatkan uang di hari tersebut.
“Tapi pastinya kapan mas?!! saya gak mau kaya kemarin, Mas sudah bilang ada, trus mau dianterin, tapi buktinya mana?!! Sampai sekarang belum juga ada mas!!” Suaranya meninggi, obrolan di pagi itu mendadak jadi pusat perhatian beberapa tetangga. Sepertinya dia benar-benar marah kali ini.
“Iya pak maaf… Tapi besok saya usahain ada pak.”
“Mas ini sebenernya bisa bayar gak?!! Gara-gara mas, sudah kedua kalinya saya harus pinjam uang untuk setor bulanan kontrakan!!” Tampak jelas mimik kemarahan di sana, namun pandangannya seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Tapi ya sudah… saya kasih waktu untuk terakhir kali, besok saya tunggu di rumah, kalau tetap gak ada silahkan cari kontrakan lain.”
Didi menarik nafas panjang lalu menghembuskanya keras setelah lelaki tua itu benar-benar pergi. Masih di belakang pintu yang sudah tertutup rapat, dia menjatuhkan badan begitu saja hingga berjongkok, lantas mengusap-usap rambutnya dengan kedua telapak tangan lalu turun dan berhenti tepat di wajahnya. Rasanya memang sedikit lega sekarang, tidak ada lagi suara gedoran dan minimal dia aman untuk seharian ini, namun semua itu tak mengurangi sedikitpun kekalutan di kepalanya. Didi harus secepatnya mencari cara untuk menepati janjinya besok.
Berharap tak ada yang melihat, keesokan harinya didi mengeluarkan motor lalu mengunci dan menggembok pintu kontrakan. Sepagi ini biasanya para tetangga belum ada yang keluar rumah. Ini kesempatan, pergi untuk waktu yang tak bisa ia pastikan kapan kembali.
Di sepanjang perjalanan, dia terus berharap semoga teman yang akan didatangi sekarang bisa membantunya. Sebab, kali ini dia harus benar-benar dan secepatnya mendapatkan uang.
Tanpa basa-basi, sesampainya di tempat tujuan, didi langsung disambut hangat oleh temannya, Bani.
“Kamu yakin hari ini gak masuk kerja?” Temannya itu memulai obrolan sambil menyiapkan minum.
“Iya ban. Soalnya aku gak bisa fokus kerja kalau keadaanku seperti ini. Aku gak tau harus ke mana lagi mencari pinjaman.”
“Iya sih, aku ngerti, tapi seperti yang aku katakan tadi, aku juga beneran belum bisa bantu kamu sekarang, di. Ya mungkin ini yang namanya nasi sudah menjadi bubur, kalo pikiranmu gak sebuntu itu pasti semua ini gak akan terjadi, ya kan?”
Benar apa kata bani, aku memang bodoh, kenapa diri ini begitu mudahnya dibutakan oleh uang, Ccckkk.
Dalam diam, didi mencoba menelaah perkataan temannya. Dia tertunduk, teringat saat dirinya menyepelekan keadaan, tak menghiraukan yang nantinya akan terjadi, hampir semua gajinya ia habiskan di meja j*di dua bulan terakhir, belum lagi janji yang ia ucapkan tempo hari.
Sekejap didi menyadari sesuatu kalau sebentar lagi kesalahan yang dipikulnya itu akan segera bertambah, dia akan mengulangi kesalahannya lagi, dia akan ingkar.
“Tapi okelah, kalau untuk sementara, kamu bisa tinggal di sini dulu di, gak apa-apa kok, biar nanti aku coba bantu cariin pinjaman juga.”
“Thanks ban.”
Hanya Membutuhkan waktu 10 menit bani sekarang sudah rapi dan siap untuk berangkat kerja. Sembari mengeluarkan motor, ia pamit kepada didi yang terus duduk menyender dan menonton tv dengan tatapan sayunya.
“Aku berangkat dulu di. Oh iya, berhubung kamu sudah gak ada pegangan sama sekali, nanti siang kalau mau makan pakai uangku aja, itu di atas lemari sudah aku siapin.”
Tanpa meminta jawaban, bani langsung menutup pintu dan menyalakan mesin motor lantas berangkat.
Waktu terus berputar berganti menit lalu jam, namun didi masih belum berpindah tempat karena sibuk memikirkan sesuatu supaya bisa menepati janjinya. Sesekali hanya membuka hp dengan segudang harapan ada yang membalas pesan-pesan memalukan yang ia kirimkan ke beberapa nomor di kontaknya. Tapi sayang, entah kenapa keberuntungan belum berpihak padanya.
Sampai menjelang dzuhur pun, didi belum juga mendapat jawaban. Hingga tak terasa kini ia terlelap dengan hp yang masih tergenggam. Belum juga tidurnya menuai mimpi, ia mengerang lirih, gendang telinganya seperti menangkap sesuatu. Dikerjapkanya mata, suara itu makin jelas terdengar. Oh ternyata suara adzan, didi teringat, di samping kontrakan bani ada masjid. Entah apa yang menarik dirinya untuk segara duduk, kemuadian bangkit dan menyiapkan diri.
Cckkk… didi mendadak jengkel. Seperti biasa, di tengah-tengah persiapannya, kemalasan mulai timbul lalu benaknya kembali beradu. Meski begitu, kali ini dia tak sanggup menolak kata hatinya. Walau pikiran penuh ragu tapi kakinya tetap terus melangkah, hingga kini dirinya benar-benar sudah di dalam masjid. Ada kerinduan menyeruak di dadanya. Ya, karena tempat ini, tempat favoritnya dulu. Entah sudah berapa belas tahun dirinya tak menghadap diri di masjid.
Selesai sholat ia merenung. Sudah lama sekali ia tak merasakan udara ketenangan seperti ini. Hatinya mendadak sejuk dan lega. Dzikir dan doa berurutan ia lantunkan dalam hati, tak sadar penglihatan didi mulai blur, ternyata di ujung matanya terdapat genangan, kemudian menyembul dan mengalir begitu saja melewati pipinya yang kasar bekas jerawat. Didi sengaja membiarkan air matanya terus mengalir, sebab di setiap tetesan air matanya ia merasakan ketentraman yang kian bertambah.
30 menit sudah ia tertunduk, lalu bangkit saat merasakan seperti ada yang menepuk punggungnya. Ketika berdiri, didi sadar tak ada orang lain selain dirinya saat memutar pandangannya ke seluruh sudut masjid.
Terus tadi siapa? Ah, mungkin perasaanku saja.
Tanpa berpikir panjang, didi lantas beranjak pulang. Di depan masjid saat sedang mengambil satu sendalnya yang berjarak jauh, ia dihampiri seseorang.
“Didi?”
“Ehh, jamal?”
“Wah, kebetulan nih ada kamu di. Boleh minta tolong gak?”
“Boleh..”
“Kamu kenal sama pengurus DKM masjid ini gak?”
Belum sempat didi menjawab, tiba-tiba datang seorang bapak dan balik bertanya pada jamal, “Emm.. permisi mas, mau cari pengurus masjid? Kalau boleh tau ada perlu apa ya?”
“Oh iya pak, begini.. kami berdua hanya ingin membagikan sedikit sarung dan mukena dari beberapa relawan pak, karena kemarin ada seseorang yang tak sengaja mampir ke sini lalu menginfokan kalau di masjid ini belum tersedia sarung ataupun mukena, makanya kami segera ke sini. Mungkin bapak kenal dengan pengurusnya?”
“Subhananllah… ya, tentu saja saya kenal mas. Soalnya ketua pengurus masjid di sini itu ya.. saya.”
“Alhamdulillah… kebetulan sekali ya pak.”
“Ya sudah, mari masuk ke rumah saya dulu.”
Jamal dan temannya kemudian mengikuti langkah kaki si bapak itu, sedang didi yang juga diajak jamal beriringan di samping mereka.
Sepulang dari sana didi meminta jamal dan temannya mampir ke kontrakan bani sebentar. Ada sepercik harapan di hatinya. Tanpa basa basi, dia kembali temenung sejenak lantas menceritakan semua masalah yang sedang menimpanya. Untuk kesekian kalinya didi mendapatkan lagi kesadaran serta penyesalan yang lebih atas kesalahannya saat jamal dan temannya mencoba memberikan sedikit komentar dan nasihat padanya.
“Aku sih bisa saja bantu kamu di, kebetulan aku masih ada sedikit tabungan, tapi kalau boleh, kamu bisa bantu aku dulu gak?”
Bagai bunga yang mekar di pagi hari, kini wajah didi kian berubah, tak lagi layu seperti sebelumnya.
“Alhamdulillah.. tentu saja mal. Apapun itu aku siap membantu sebisaku.”
“Baiklah, sekarang kamu siap-siap dulu, kita harus mendatangi 10 mushola lagi hari ini, itu di depan motor kamu kan, di?”
“Siap bos.” Semangat tinggi mulai keluar dari dirinya.
Sekitar pukul 21:00 mereka akhirnya berhasil menyebarkan sarung dan mukena di 10 mushola tersebut. Walau ada beberapa mushola yang letaknya jauh nan pelosok, tapi alhamdulillah urusan mereka diberi kelancaran oleh_nya hingga selesai. Didi tidak langsung pulang, ia diajak jamal ke rumahnya.
Sampai di tujuan, mereka langsung membersihkan badan lantas beranjak kumpul di ruang tamu. Jamal keluar dari kamarnya lalu memberikan sebuah amplop pada didi.
“Apa ini mal?” Tanya didi.
“Itu ada sedikit uang yang kamu butuhkan.”
“Alhamdulillah.. terimakasih mal, Terimakasih…” Didi kembali sumringah.
Tak lama Didi pamit. Karena malam itu juga dia harus langsung menyerahkan uangnya, supaya besok paginya tidak ada lagi suara berisik dari pintu kontrakannya.
—
Ah, suara itu lagi. Bukannya aku sudah membayarnya semalam.
Gedoran pintu kembali terdengar, sangat keras, bahkan sekarang suaranya makin mendekat dan berpindah ke jendela. Namun tiba-tiba hilang, hitungan detik hp di genggamanya bergetar.
Oh, ada panggilan masuk, Bani?
Segera ia angkat, “Hallo, iya ban..”
“Kamu lagi ngapain sih di? Aku panggilin gak dijawab-jawab, buka pintunya!!”
“Iya, iya ban, sorry..”
Dibukanya pintu kontrakan yang terkunci dari dalam.
“Tidur kamu ya, di? Sudah aku gedor-gedor juga.”
“Ehhh.. iya ban.. sorry..”
“Itu tadi kamu tidur, televisi gak dimatiin? Ccckkk.. Aduuuh… didi.. didi..”
Seperti tak menghiraukan omelan bani, didi mulai galau lagi, menyadari ternyata yang tadi ia alami hanyalah sebuah mimpi.
Ccckkk… sial!! Kekesalan kembali muncul di hatinya. Didi lagi-lagi berjuang keras memutar otaknya, mencari cara apa lagi yang harus dilakukan. Namun tetap saja, hanyalah kebuntuan yang ia temukan. Dia sudah kehabisan stok teman yang dapat dihubungi.
“Sudahlah di, jangan sedih gitu dong.. nih ada sedikit bantuan dari teman kerjaku.” Bani menghampirinya dan mneyodorkan sebuah amplop sambil mesem.
“Apa ini ban?”
“Udah.. buka aja.”
Dibukanya pelan amplop di tangannya.
“Alhamdulillah.. terimakasih ban, terimakasih.. ini baru nyata..”
“Maksud kamu, di?”
“Oh.. tidak apa-apa ban.”
Baiklah, mungkin inilah petunjuk dari_Nya agar supaya aku bisa berbagi dan menggunakan rezeki yang aku dapatkan untuk hal yang lebih bermanfaat.
Dan pastinya, aku tak akan pernah lagi terjebak di jalan yang menyimpang itu.