TELEPON TENGAH MALAM

Penulis : Ari Basuki

Kisah ini terjadi di negeri dongeng, bukan di negeri kita. Jadi tak usah mengkait-kaitkan isi ceritanya dengan peristiwa nyata yang terjadi di negeri kita. Namanya juga cerpen, kisah fiksi. Jadi mari kita dengarkan kisah ini dengan pikiran yang jernih, tanpa prasangka.

Ceritanya begini:

Di tengah malam itu Rani mendengar telepon di rumahnya berdering. Ketika Rani mengangkatnya ia tidak mendengar suara apapun. Ia hanya mendengar suara dengung. Rani penasaran. Sudah dua kali ia menerima telepon misterius itu, dan selalu saat tengah malam ketika ia sedang tidur nyenyak. Keterlaluan. Ini tentu pekerjaan orang iseng, pikirnya.

Tiga hari kemudian, juga saat tengah malam, telepon di rumahnya berdering lagi. Ketika Rani mengangkatnya, terdengar suara: “Aku Sambara.”

“Sambara siapa?” tanya Rani.

“Sambara penyair.”

Dada Rani berdebar. Sepertinya itu memang suara Sambara – penyair yang hilang sepuluh tahun yang lalu. “Benarkah?”

“ ………………………”

Tak terdengar jawaban

“Benarkah engkau Sambara?”

“ ………………………”

Tak terdengar jawaban, Hanya suara dengung. Lengang. Rani meletakkan gagang telepon. Ia merasa resah dan bertanya-tanya dalam hati, benarkah yang baru saja menelepon itu Sambara? Atau hanya orang iseng yang berniat mengganggunya? Jika benar Sambara, mengapa ia tak meneruskan pembicaraan?

Sambara adalah seorang penyair terkenal di negerinya. Puisi-puisinya mendapat pujian dan digemari oleh berbagai kalangan. Sebagian besar puisinya berisi kritik sosial. Jika ia membacakan sajaknya, maka ratusan orang datang menontonnya. Selain itu ia juga seorang pemain teater yang piawai. Pentas-pentas teaternya yang sarat kritik sosial menyedot banyak pengunjung.

Maka hilangnya Sambara sepuluh tahun yang lalu itu terasa mengagetkan banyak orang. Pada suatu siang ketika Sambara sedang makan sate di sebuah warung, ia dijemput oleh tiga orang lelaki dengan menggunakan mobil, dan sejak itu ia tak tampak lagi sosoknya. Ia seperti lenyap ditelan bumi. Isteri dan saudara-saudaranya telah mencarinya ke mana-mana, namun sampai beberapa tahun lamanya Sambara tetap tidak ditemukan. Publik merasa kehilangan seorang tokoh yang kharismatik, teguh pada prinsip, dan konsisten menyuarakan kebenaran. Rani termasuk salah seorang yang merasa sangat kehilangan atas raibnya penyair itu.

Rani pengagum Sambara, bahkan skripsinya di Fakultas Sastra meneliti sajak-sajak Sambara, sehingga untuk keperluan itu ia harus melakukan wawancara berkali-kali dengan penyair bersangkutan. Tidak saja kagum kepada sajak-sajaknya, Rani juga mengagumi penyairnya. Bagi Rani, Sambara tidak hanya tampan, namun juga mempunyai pribadi yang mempesona.

Sepuluh tahun lamanya Sambara raib tanpa jejak. Masyarakat tidak mengetahui di mana ia berada, apakah ia masih hidup atau sudah meninggal. Publik hanya bisa berspekulasi, menebak-nebak, jangan-jangan ia dilenyapkan karena sajak-sajaknya yang sarat protes sosial dan kritik terhadap penguasa? Namun siapa yang melenyapkannya? Tak ada jawaban pasti. Tak ada bukti apapun. Tetapi telepon misterius itu, benarkah itu suara Sambara? Jika benar itu suara Sambara berarti ia masih hidup?  Jika benar ia masih hidup, di mana ia berada?

Ataukah telepon gelap itu hanya pekerjaan orang iseng? Rani merasa resah. Batinnya terteror. Ia menyampaikan adanya telepon aneh itu kepada ayahnya. Ayah Rani — seorang jaksa – tertawa mendengarnya. Ia menasehati anaknya: “Jangan urusi teror semacam itu. Itu jelas pekerjaan orang iseng yang mengganggumu; Lupakanlah.”

“Tetapi suaranya benar-benar mirip suara Sambara.”

“Ah, itu karena kamu terlalu memujanya.”

Rani setuju pada ucapan ayahnya. Seandainya orang yang menelepon itu memang Sambara, mengapa ia tak berterus terang mengungkapkan maksudnya?

Tetapi empat hari kemudian, ketika pada tengah malam terdengar dering telepon di rumahnya, Rani tergoda untuk mengangkatnya.

“Aku Sambara” terdengar suara di seberang.

“Hai, Sambara, kamu ada di mana?” tanya Rani.

“Aku sudah dilenyapkan.”

“Oleh siapa?”

“………………………..”. Tak terdengar jawaban.

“Mengapa?”

“………………………..”. Tak terdengar jawaban.

Mendadak ayah Rani keluar dari kamar. “Telepon iseng itu lagi?” ia bertanya.

“Benar. Silakan dengar sendiri” kata Rani seraya melambaikan tangannya.

Ayah Rani mendekat dan menerima gagang telepon dari tangan anaknya. “Halo! Halo!… Ah, tak terdengar suara apapun!”

Rani menerima gagang telepon kembali dan mendengarkannya. “Halo! Halo!’ serunya. Gila, yang terdengar hanya suara dengung.

“Sudah kubilang, tak usah melayani telepon gelap macam ini. Memboroskan energi” kata sang ayah.

Tetapi Rani selalu tergoda untuk mendengarkan suara telepon aneh itu. Makin lama ia makin percaya dengan apa yang ia dengar.

“Papi, apakah puisi bisa menimbulkan revolusi?” tanya Rani kepada ayahnya.

“Tidak mungkin lah” jawab sang ayah.

“Tetapi mengapa penyair yang menulis puisi berisi kritik sosial atau kritik terhadap penguasa, dilenyapkan?”

“Ah, itu hanya pemikiran spekulatif yang belum terbukti, kan?”

Ayah Rani merasa prihatin terhadap perilaku anaknya. Ia kemudian menghubungi PT yang mengurusi telekomunikasi di negerinya, meminta supaya memutus sambungan telepon rumahnya untuk sementara, agar tak bisa digunakan oleh penelepon gelap itu. Namun betapa terkejutnya ia, meskipun saluran telepon telah diputus, pada suatu malam ia melihat Rani berbicara seorang diri di depan pesawat telepon itu. Sang ayah semakin sedih melihat tingkah laku anaknya semata wayang ini. Ia kemudian mendatangkan seorang psikiater ke rumahnya, dan meminta kepada sang psikiater supaya memeriksa kesehatan jiwa Rani. Mula-mula Rani merasa tersinggung dengan perlakuan ini, tetapi ia kemudian justru dengan senang hati menerima sang psikiater karena ia ingin membuktikan bahwa jiwanya masih sehat. Pemeriksaan berlangsung beberapa kali.

Dari hasil pemeriksaannya, sang psikiater menyatakan bahwa Rani menderita gangguan jiwa. Rani merasa mendengar suara-suara yang sesungguhnya tidak ada di dalam kenyataan. Maka disarankan Rani mendapat perawatan dan pengobatan yang lebih intensif lagi. Ayah Rani menyetujui saran itu, asal Rani dirawat di rumah saja.

Begitulah, di rumah Rani tidak lagi terdengar dering suara telepon, karena salurannya telah diputus. Tetapi anehnya, Rani masih suka berdiri di depan pesawat telepon, termangu-mangu, pandang matanya menerawang jauh. Biasanya pada saat tengah malam. Seperti malam itu, ketika jam menunjuk pukul 00.00 Rani terbangun dari tidurnya, lantas berjalan ke depan pesawat telepon. Ia berdiri mematung beberapa saat lamanya. Kemudian ia berjalan menuju dapur. Di sana ia menyambar sebilah pisau daging. Dengan pisau tergenggam erat di tangan, ia berjalan menuju kamar tidur ayahnya yang saat itu pintunya tidak terkunci.

Keesokan paginya, koran-koran dan televisi memberitakan: Seorang jaksa meninggal dunia ditikam oleh puterinya sendiri yang diduga menderita gangguan jiwa.

"Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!"

41 Replies to “TELEPON TENGAH MALAM”

  1. Cerpen yg menggugah jiwa pembaca. Tak disangka sang penulis dapat menyuguhkan sensasi pembaca yg jarang ditemui pada cerpen lainnya..

  2. Kaget super kaget saat baca. Dalem. Klimaks. Layak dijadikan FILM. Pesan yg dalam tentang kesadaran n kewarasan. Bravo !!!

  3. Cerpen yang ditulis dengan gaya surealis dan absurd layak dijadikan bacaan sastra serius (karya sastra sungguhan)

  4. Tema yg diusung berbobot, bukan tema picisan, menggugah kesadaran, menginspirasi
    Pembaca tentang politik dan kemanusian.

  5. Ending yang mencengangkan dan tidak tertebak
    Gaya bahasa penulis sangat matang
    Kita seperti dibawa ke dalam alur cerita tanpa bisa melawan
    Luar biasa

  6. Penulis mengangkat isu mental health yang kadang tidak disadari dan tidak terlihat bahkan oleh orang terdekat sekalipun
    Cerdas sekali

  7. Cerpen ini mengangkat persoalan politik dan kemanusiaan, dikemas secara dramatis tetapi tidak vulgar, dengan maksud menyentuh nurani pembaca

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *